KEPEMIMPINAN
ISLÂM BERDASARKAN HADIS-HADIS RASÛLULLÂH SAW.
Kita
acapkali mendengar terminologi (الْخِلاَفَةُ), dan apakah makna sebenarnya (الْخِلاَفَةُ)?. (الْخِلاَفَةُ) merupakan: "Sistem pemerintahan Islâm yang dimulai setelah
wafatnya Nabi Muhammad SAW; yang dibentuk melalui (prinsip) musyawarah, untuk
memilih seorang khalîfah ataupun seorang pemimpin; yang memiliki hak suatu
wilayah kekuasaan; yang bertanggungjawab menangani dan menyelesaikan segala hal,
kebutuhan, perkara dan kemashlahatan rakyatnya; baik dalam urusan agama maupun
dunia".[1]
Terminologi
(الْخِلاَفَةُ) dalam Hadis-hadis Nabi SAW. banyak kita temukan; namun dalam
Hadis-hadis Nabi SAW. itu tidak kita temukan secara detail dan secara eksplisit
bagaimanakah konsep-konsep (الْخِلاَفَةُ) itu?. Dalam hal ini, penulis tidak bermaksud mengupas secara
intens konsep-konsep (الْخِلاَفَةُ), akan tetapi dalam hal ini penulis bertujuan untuk menerangkan
secara global bagaimanakah kepemimpinan Islâm berdasarkan Hadis-hadis Nabi SAW.
dan segala aspeknya.
Ada
sebuah Hadis Shahîh Li Ghayrihi yang menjadi acuan dalam konteks
pembahasan ini, yakni sebagai berikut:
حَدَّثَنَا
سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنِيْ دَاوُدُ بْنُ
إِبْرَاهِيْمَ الْوَاسِطِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنِيْ حَبِيْبُ بْنُ سَالِمٍ، عَنِ
النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ، قَالَ: كُنَّا قُعُوْدًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُوْلِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَ بَشِيْرٌ رَجُلًا يَكُفُّ حَدِيْثَهُ.
فَجَاءَ أَبُوْ ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيُّ، فَقَالَ: يَا بَشِيْرُ بْنَ سَعْدٍ،
أَتَحْفَظُ حَدِيْثَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي
الْأُمَرَاءِ؟. فَقَالَ حُذَيْفَةُ: أَنَا أَحْفَظُ خُطْبَتَهُ. فَجَلَسَ أَبُوْ
ثَعْلَبَةَ، فَقَالَ حُذَيْفَةُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: تَكُوْنُ النُّبُوَّةُ فِيْكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ
يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا. ثُمَّ تَكُوْنُ خِلَافَةٌ عَلَى
مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ، فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ
يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا. ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا عَاضًّا،
فَيَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ
يَرْفَعَهَا. ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً، فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ
أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا. ثُمَّ تَكُوْنُ
خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ نُبُوَّةٍ.
"Sulaimân bin Dâwud ath-Thayâlisiŷ
telah bercerita kepada kami (kepada Ahmad bin Hanbal), dia (Sulaimân bin Dâwud
ath-Thayâlisiŷ) berkata: "Dâwud bin Ibrâhîm al-Wâsithiŷ telah bercerita
kepada saya (kepada Sulaimân bin Dâwud ath-Thayâlisiŷ), dia (Dâwud bin Ibrâhîm
al-Wâsithiŷ) berkata: "Habîb bin Sâlim al-Anshâriŷ telah bercerita kepada
saya (kepada Dâwud bin Ibrâhîm al-Wâsithiŷ), dari an-Nu'mân bin Basyîr al-Anshâriŷ,
dia (an-Nu'mân bin Basyîr al-Anshâriŷ) berkata: "Suatu ketika kami (para Shahâbat)
duduk bersama Nabi Muhammad SAW. di Masjid, sedangkan Basyîr bin Sa'd al-Anshâriŷ
(ayahnya an-Nu'mân bin Basyîr al-Anshâriŷ) adalah seorang lelaki yang giat menghimpun
Hadis-hadis Nabi SAW. Lalu datanglah Abû Tsa'labah al-Khusyaniŷ (nama
sebenarnya di antaranya: Jurhum)[2], kemudian dia (Abû Tsa'labah al-Khusyaniŷ) berkata: "Wahai Basyîr
bin Sa'd al-Anshâriŷ, apakah engkau (Basyîr bin Sa'd al-Anshâriŷ) hafal Hadis
Rasûlullâh SAW. mengenai kepemimpinan Islâm?". Maka Hudzaifah bin al-Yamân
al-'Absiŷ berkata: "Saya (Hudzaifah bin al-Yamân al-'Absiŷ) hafal khuthbah
beliau SAW". Lalu duduklah Abû Tsa'labah al-Khusyaniŷ, kemudian Hudzaifah
bin al-Yamân al-'Absiŷ berkata: "Rasûlullâh SAW. bersabda: "Telah
datang kepada kalian (kaum muslimîn) periode kenabian atas kehendak Allâh SWT; lalu
Allâh SWT. mengangkat atau menghapus periode kenabian itu apabila Allâh SWT.
menghendaki. Setelah itu akan datang kepada kalian (kaum muslimîn) periode
kepemimpinan yang berasaskan kenabian (yakni: berasaskan al-Qurân dan
Hadis-hadis Nabi SAW.) atas kehendak Allâh SWT; lalu Allâh SWT. mengangkat atau
menghapus periode kepemimpinan yang berasaskan kenabian (yakni: berasaskan
al-Qurân dan Hadis-hadis Nabi SAW.) itu apabila Allâh SWT. menghendaki. Kemudian
akan datang kepada kalian (kaum muslimîn) periode kerajaan yang zalim, atas
kehendak Allâh SWT; lalu Allâh SWT. mengangkat atau menghapus periode kerajaan
yang zalim itu apabila Allâh SWT. menghendaki. Selanjutnya akan datang kepada
kalian (kaum muslimîn) periode kerajaan yang otoriter (tirani), atas kehendak
Allâh SWT; lalu Allâh SWT. mengangkat atau menghapus periode kerajaan yang
otoriter (tirani) itu apabila Allâh SWT. menghendaki. Setelah itu akan datang
kepada kalian (kaum muslimîn) periode kepemimpinan yang berasaskan kenabian
(yakni: berasaskan al-Qurân dan Hadis-hadis Nabi SAW)". {Hadis ini berkualitas shahîh li ghayrihi, yang diriwayatkan oleh Ahmad
bin Hanbal dalam Musnad Al-Imâm Ahmad Ibnu Hanbalnya (No. Hadis: 18406). Ath-Thayâlisiŷ
dalam Musnadu Abî Dâwuda Ath-Thayâlisiŷnya (No. Hadis: 439). Al-Bazzâr dalam Musnadul Bazzâril Mansyûrinya
(No. Hadis: 2796). Dan al-Baihaqiŷ dalam Dalâilun Nubuŵatinya (6/491)}.[3]
Hadis
di atas menerangkan bahwasanya Kepemimpinan Islâm berdasarkan Hadis di atas
memiliki lima periode kepemimpinan, yakni:
1.
Periode
kenabian (النُّبُوَّةُ)
Periode kenabian dalam konteks ini telah berlangsung sejak
kepemimpinan Nabi kita Âdam hingga Nabi kita yang terakhir dan penutup para
Nabi, yakni: Nabi kita Muhammad SAW. Hal itu secara substansial telah diterangkan
dalam Firman Allâh SWT. dalam Surat al-Baqarah (2), Ayat: 30.
2.
Periode
kepemimpinan yang berasaskan kenabian (خِلَافَةٌ
عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ)
Kepemimpinan yang berasaskan kenabian maksudnya: "Kepemimpinan
yang berdasarkan (berasaskan) al-Qurân dan Hadis-hadis Nabi Muhammad SAW".
Periode kepemimpinan ini kita kenal dengan nama: (الْخِلاَفَةُ الرَّاشِدَةُ), kepemimpinan ini dimulai dari kepemimpinan shahâbat Abû
Bakar ash-Shiddîq yang berlangsung selama kurun (waktu) kurang lebih dua tahun;
lalu kepemimpinan shahâbat 'Umar bin al-Khaththâb yang berlangsung
selama kurun (waktu) kurang lebih sepuluh tahun; kemudian kepemimpinan shahâbat
'Utsmân bin 'Affân yang berlangsung selama kurun (waktu) kurang lebih 12 tahun;
setelah itu kepemimpinan shahâbat 'Alî bin Abî Thâlib yang berlangsung
selama kurun (waktu) kurang lebih enam tahun. Sebagaimana Hadis Shahîh
berikut ini:
أَخْبَرَنَا أَبُوْ
يَعْلَى، قَالَ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْجَعْدِ الْجَوْهَرِيُّ، قَالَ: أَخْبَرَنَا
حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ سَعِيْدِ بْنِ جُمْهَانَ، عَنْ سَفِيْنَةَ، قَالَ:
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: الْخِلَافَةُ
بَعْدِيْ ثَلَاثُوْنَ سَنَةً. ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا.
قَالَ سَفِيْنَةُ:
أَمْسِكْ خِلَافَةَ أَبِيْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ سَنَتَيْنِ. وَعُمَرَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَشْرًا. وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ.
وَعَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ سِتًّا.
قَالَ عَلِيُّ بْنُ
الْجَعْدِ: قُلْتُ لِحَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ: سَفِيْنَةُ الْقَائِلُ: أَمْسِكْ؟.
قَالَ: نَعَمْ.
"Abû Ya'lâ al-Mawshiliŷ (nama
sebenarnya: Ahmad bin 'Alî bin al-Mutsannâ) telah mengabarkan kami (mengabarkan
Ibnu Hibbân), dia (Abû Ya'lâ al-Mawshiliŷ) berkata: "'Alî bin al-Ja'd al-Jawhariŷ
telah bercerita kepada kami (kepada Abû Ya'lâ al-Mawshiliŷ), dia ('Alî bin al-Ja'd
al-Jawhariŷ) berkata: "Hammâd bin Salamah bin Dînâr telah mengabarkan kami
(mengabarkan 'Alî bin al-Ja'd al-Jawhariŷ), dari Sa'îd bin Jumhân al-Aslamiŷ, dari
Safînah (nama sebenarnya di antaranya: Mihrân)[4], dia (Safînah) berkata: "Saya (Safînah) telah mendengar
Rasûlullâh SAW. bersabda: "Kekhalifahan (kepemimpinan) setelahku (setelah
kepemimpinan Nabi SAW.) hanya berlangsung dalam kurun (waktu) 30 tahun. Setelah
itu, maka kepemimpinan Islâm dalam format kerajaan".
"Safînah berkata: "Berpegang-teguhlah
kepada kekhalifahan Abû Bakar ash-Shiddîq, yang telah berlangsung dalam kurun
(waktu) dua tahun. Dan berpegang-teguhlah kepada kekhalifahan 'Umar bin
al-Khaththâb, yang telah berlangsung dalam kurun (waktu) sepuluh tahun. Serta
berpegang-teguhlah kepada kekhalifahan 'Utsmân bin 'Affân, yang telah
berlangsung dalam kurun (waktu) 12 tahun. Dan berpegang-teguhlah kepada
kekhalifahan 'Alî bin Abî Thâlib, yang telah berlangsung dalam kurun (waktu)
enam tahun".
"Al-Imâm al-Hâfizh al-Huĵah 'Alî bin al-Ja'd
al-Jawhariŷ berkata: "Saya ('Alî bin al-Ja'd al-Jawhariŷ) berkata kepada
asy-Syaikh al-Imâm Hammâd bin Salamah bin Dînâr: "Apakah maulâ Rasûlullâh
SAW. Safînah yang mengatakan: "Berpegang-teguhlah, dan seterusnya?".
Asy-Syaikh al-Imâm Hammâd bin Salamah bin Dînâr menjawab: "Iya". {Hadis ini berkualitas shahîh,
yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibbân dalam Shahîhu Ibnu Hibbâni Bi Tartîbi Ibni
Balbâninya (No. Hadis: 6943). Al-Khallâl
al-Baghdâdiŷ dalam As-Sunnahnya (No. Hadis: 647). Al-Bazzâr dalam Musnadul Bazzâril Mansyûrinya
(No. Hadis: 3827 - 3828). Dan Ibnu 'Abdul Barr an-Namariŷ dalam Jâmi'ul Bayânil
'Ilmi Wa Fadhlihinya (No. Hadis: 2313)}.[5]
3.
Periode
kerajaan yang zalim (مُلْكًا عَاضًّا)
Maksud dari Kerajaan yang Zalim yaitu: "Kepemimpinan dalam
sistem kerajaan yang dipimpin oleh seorang Raja (ataupun Sultan) yang zalim dalam
kepemimpinannya". Penulis, dalam banyak literatur-literatur Islâm (seperti
dalam Kitâb-kitâb Sîrah Wa Syamâil dan dalam Kitâb-kitâb Târîkh,
serta yang lainnya) tidak menemukan penjelasan (syarah) yang detail dan eksplisit
mengenai Periode Kerajaan yang Zalim ini. Namun, sebagaimana Hadis dalam
konteks pembahasan di atas (sebelumnya), yakni: dalam konteks (الْخِلَافَةُ
بَعْدِيْ ثَلَاثُوْنَ سَنَةً. ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا) secara implisit menerangkan
bahwasanya: "Periode Kerajaan yang Zalim ini ada dan terjadi setelah
periode (الْخِلاَفَةُ الرَّاشِدَةُ); dengan kata lain: Kerajaan yang Zalim ini ada dan terjadi di
antara periode kepemimpinan shahâbat Hasan bin 'Alî bin Abî Thâlib
hingga akhir Dinasti 'Abbâsiŷah". (وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ).
4.
Periode
kerajaan otoriter atau tirani (مُلْكًا
جَبْرِيَّةً)
Maksud dari Kerajaan yang Otoriter atau Tirani yaitu:
"Kepemimpinan dalam sistem kerajaan yang dipimpin oleh seorang Raja
(ataupun Sultan) yang otoriter ataupun tirani dalam kepemimpinannya". Sebagaimana
konteks pembahasan sebelumnya, dalam banyak literatur-literatur Islâm (seperti
dalam Kitâb-kitâb Sîrah Wa Syamâil dan dalam Kitâb-kitâb Târîkh,
serta yang lainnya) penulis juga tidak menemukan penjelasan (syarah)
yang detail dan eksplisit mengenai Periode Kerajaan yang Otoriter atau Tirani
ini. Namun, penulis berpendapat bahwasanya Periode Kerajaan yang Otoriter atau
Tirani ini ada dan terjadi setelah berakhirnya periode Dinasti 'Abbâsiŷah; dengan
kata lain: Periode Kerajaan yang Otoriter atau Tirani ini ada dan terjadi di
antara periode Dinasti Idrîsiŷah hingga Dinasti Turki 'Utsmâniŷ, dan hingga
saat ini. (وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ).
5.
Periode
kepemimpinan yang berasaskan kenabian (خِلَافَةً
عَلَى مِنْهَاجِ نُبُوَّةٍ)
Sebagaimana dalam poin kedua di atas (sebelumnya), kepemimpinan
yang berasaskan kenabian maksudnya: "Kepemimpinan yang berdasarkan
(berasaskan) al-Qurân dan Hadis-hadis Nabi Muhammad SAW".
Penulis berpendapat, bahwa Periode Kepemimpinan yang Berasaskan
Kenabian ini dapat terwujud (ada dan dapat terjadi) dalam waktu dekat ataupun
di masa yang akan datang. (وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ).
Dan sebagai penutup, penulis akan mengupas (mengkaji) satu Hadis Shahîh
mengenai: "12 pemimpin-pemimpin Islâm" berikut ini:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللهِ بْنُ مُحَمَّدٍ، وَسَمِعْتُهُ أَنَا مِنْ عَبِدِ اللهِ بْنِ
مُحَمَّدٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا حَاتِمُ بْنُ إِسْمَاعِيْلَ، عَنِ الْمُهَاجِرِ بْنِ
مِسْمَارٍ، عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدِ بْنِ أَبِيْ وَقَّاصٍ، قَالَ: كَتَبْتُ إِلَى
جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ مَعَ غُلَامِيْ، أَخْبِرْنِيْ بِشَيْءٍ سَمِعْتَهُ مِنْ
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَ: فَكَتَبَ إِلَيَّ:
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ،
عَشِيَّةَ رَجْمِ الْأَسْلَمِيِّ، يَقُوْلُ: لَا يَزَالُ الدِّيْنُ قَائِمًا
حَتَّى تَقُوْمَ السَّاعَةُ. أَوْ يَكُوْنَ عَلَيْكُمْ اثْنَا عَشَرَ خَلِيْفَةً.
كُلُّهُمْ مِنْ قُرَيْشٍ.
"'Abdullâh bin Muhammad bin Ibrâhîm (nama
populernya: Ibnu Abî Syaibah) telah bercerita kepada kami (kepada Ahmad bin
Hanbal), dan saya (Ahmad bin Hanbal) telah mendengar Hadis ini dari 'Abdullâh
bin Muhammad bin Ibrâhîm, dia ('Abdullâh bin Muhammad bin Ibrâhîm) berkata:
"Hâtim bin Ismâ'îl al-Madaniŷ telah bercerita kepada kami (kepada 'Abdullâh
bin Muhammad bin Ibrâhîm), dari al-Muhâjir bin Mismâr (nama lainnya: Muhâjir
bin Mismâr al-Qurasyiŷ), dari 'Âmir bin Sa'd bin Abî Waqqâsh, dia ('Âmir bin
Sa'd bin Abî Waqqâsh) berkata: "Suatu saat saya ('Âmir bin Sa'd bin Abî
Waqqâsh) dengan asistenku hendak menulis Hadis Rasûlullâh SAW. dari Jâbir bin
Samurah bin Junâdah, (lalu 'Âmir bin Sa'd bin Abî Waqqâsh berkata kepada Jâbir
bin Samurah bin Junâdah:) beritahukanlah aku ('Âmir bin Sa'd bin Abî Waqqâsh) sesuatu
yang telah anda (Jâbir bin Samurah bin Junâdah) dengar dari Rasûlullâh SAW. Lalu
dia ('Âmir bin Sa'd bin Abî Waqqâsh) berkata: "Maka Jâbir bin Samurah bin
Junâdah mendiktekanku (satu Hadis), pada hari Jumu'ah sore saat berlangsungnya
perajaman salah seorang penduduk suku al-Aslamiŷ, saya (Jâbir bin Samurah bin
Junâdah) telah mendengar Rasûlullâh SAW. bersabda: "Syari'at (hukum-hukum)
Islâm akan senantiasa tegak hingga hari Kiamat nanti. Ataupun selama umat Islâm
dipimpin oleh salah satu dari 12 Khalîfah. Yang mana 12 Khalîfah itu di
antaranya merupakan orang-orang (suku) Quraisy". {Hadis ini berkualitas shahîh, yang diriwayatkan oleh Ahmad bin
Hanbal dalam Musnad Al-Imâm Ahmad Ibnu Hanbalnya (No. Hadis: 20830 dan 20805). Muslim dalam Shahîhu Muslimnya (No. Hadis: 3398). Ibnu Abî
'Âshim dalam Al-Âhadu Wa Al-Matsâniynya (No. Hadis:
1454). Abû Ya'lâ al-Mawshiliŷ dalam Musnadu Abî Ya'lânya (No. Hadis:
7463). Abû 'Awânah dalam Mustakhraju Abî 'Awânahnya (No. Hadis: 6996). Dan ath-Thabarâniŷ dalam Al-Mu'jamul Kabîrinya
(No. Hadis: 1809)}.[6]
Hadis Jâbir bin Samurah bin Junâdah di atas tidak kontradiktif dengan
kedua Hadis yang telah penulis paparkan sebelumnya. Ketiga Hadis yang telah
penulis uraikan di atas saling menjelaskan antara yang satu dengan yang lainnya.
Hadis kedua di atas telah menerangkan Hadis yang pertama, yakni: menerangkan
poin kedua mengenai "Periode Kepemimpinan yang Berasaskan Kenabian". Adapun
Hadis ketiga di atas juga telah menerangkan secara eksplisit dan implisit
bahwasanya: "12 Khalîfah sebagaimana substansi Hadis ketiga di atas (Hadis
Jâbir bin Samurah bin Junâdah) ada dan terjadi dalam kelima periode kepemimpinan
Islâm yang telah penulis paparkan sebelumnya".
Hadis ketiga di atas (Hadis Jâbir bin Samurah bin Junâdah) secara
eksplisit dan implisit menerangkan bahwasanya: "Setelah kepemimpinan Rasûlullâh
SAW. Syari'at Islâm akan senantiasa tegak hingga hari Kiamat nanti selama umat
Islâm dipimpin oleh salah satu dari 12 Khalîfah; yang mana 12 Khalîfah tersebut
merupakan pemimpin-pemimpin yang kredibel, adil dan bijaksana; pemimpin-pemimpin
yang dapat menegakkan dan menjunjung tinggi Syari'at (hukum-hukum) Islâm dalam
kepemimpinannya; pemimpin-pemimpin yang terpilih yang sangat berhak menjadi
salah satu dari 12 Khalîfah tersebut".
Penulis berpendapat, yang termasuk kategori dari 12 Khalîfah itu
yakni: 1). Abû Bakar ash-Shiddîq. 2). 'Umar bin al-Khaththâb. 3). 'Utsmân bin
'Affân. 4. 'Alî bin Abî Thâlib. 5. Hasan bin 'Alî bin Abî Thâlib. 6. Mu'âwiyah
bin Abî Sufyân. 7. 'Umar bin 'Abdul 'Azîz. 8. Hârûn ar-Rasyîd. 9. Shalâhuddîn
al-Aŷûbiŷ. Adapun Khalîfah-khalîfah yang kesepuluh hingga ke 12, penulis
berpendapat bahwasanya: "Khalîfah-khalîfah yang kesepuluh hingga ke 12
akan ada dalam waktu dekat ataupun di masa yang akan datang". (وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ).
[1] Merujuk dan
lihatlah ke Al-Mawsû'atu Al-Mawjuzatu Fît Târîkhil Islâmiŷ: (16/1).
[2] Merujuk dan
lihatlah ke Al-Ishâbatu Fî Tamyîzish Shahâbati, karya: amîrul
mu'minîna fîl hadîtsi Ibnu Hajar al-'Asqalâniŷ (7/50) atau (No. 9672).
[3] Hadis ini pada
asal mulanya berkualitas hasan, karena Habîb bin Sâlim al-Anshâriŷ merupakan
seorang yang shadûq (لاَ
بَأْسَ بِهِ), sebagaimana
dalam Taqrîbut Tahdzîbi, karya: amîrul mu'minîna fîl hadîtsi Ibnu
Hajar al-'Asqalâniŷ (No. 1092). Akan tetapi, Habîb bin Sâlim al-Anshâriŷ tidak
menyendiri meriwayatkan Hadis ini, karena ada riwayat lain dalam Al-Mu'jamul
Kabîri (No. Hadis: 368), karya: al-Imâm al-Hâfizh ath-Thabarâniŷ dan
dalam Ma'rifatush Shahâbati (No. Hadis: 596), karya: al-Imâm
al-Hâfizh Abû Nu'aim al-Ashbahâniŷ, dari jalur (sanad) Habîb bin Abî Tsâbit
yang menguatkan Hadis ini; sehingga terangkatlah derajat Hadis ini menjadi shahîh
li ghayrihi.
[4] Merujuk dan
lihatlah ke Al-Ishâbatu Fî Tamyîzish Shahâbati, karya: amîrul
mu'minîna fîl hadîtsi Ibnu Hajar al-'Asqalâniŷ (3/111) atau (No. 3346).
[5] Hadis Safînah ini
dinilai shahîh oleh amîrul mu'minîna fîl hadîtsi Ahmad bin Hanbal
sebagaimana dikutip oleh al-Imâm al-Hâfizh Ibnu 'Abdul Barr an-Namariŷ
dalam Jâmi'ul Bayânil 'Ilmi Wa Fadhlihinya (No. Hadis: 2313), amîrul
mu'minîna fîl hadîtsi Ahmad bin Hanbal berkata: "Hadis Safînah
mengenai kekhalifahan ini berkualitas shahîh. Dan dalam hal-hal mengenai
kepemimpinan, saya (Ahmad bin Hanbal) senantiasa berpendapat berdasarkan Hadis
Safînah mengenai kekhalifahan ini". Hadis Safînah ini juga di-shahîh-kan
oleh al-Imâm al-Hâfizh Ibnu Hibbân dalam Shahîhu Ibnu Hibbâni Bi
Tartîbi Ibni Balbâninya (No. Hadis: 6943), sebagaimana dikutip oleh amîrul
mu'minîna fîl hadîtsi Ibnu Hajar al-'Asqalâniŷ dalam Fathul Bâriy Syarh
Shahîh Al-Bukhâriŷnya (8/77) atau (13/212), amîrul mu'minîna fîl hadîtsi
Ibnu Hajar al-'Asqalâniŷ berkata: "(Hadis Safînah tersebut) dikeluarkan
oleh amîrul mu'minîna fîl hadîtsi Ahmad bin Hanbal dan para penulis
Kitâb Sunan (yakni: al-Imâm al-Hâfizh al-Huĵah Abû Dâwud, al-Imâm
al-Hâfizh at-Tirmidziŷ dan al-Imâm al-Hâfizh an-Nasâiŷ). Serta di-shahîh-kan
oleh al-Imâm al-Hâfizh Ibnu Hibbân dan para muhadditsîn yang lain.
[6] Hadis Jâbir
bin Samurah bin Junâdah ini dinilai shahîh oleh amîrul mu'minîna fîl
hadîtsi Muslim dalam Shahîhu Muslimnya (No. Hadis: 3398). Dan Hadis Jâbir
bin Samurah bin Junâdah ini juga di-shahîh-kan oleh al-Imâm
al-Muhaddits al-Albâniŷ dalam Silsilatul Ahâdîtsish Shahîhati Wa Syain Min
Fiqhihâ Wa Fawâidihânya (2/653) atau (No. Hadis: 964).