Asbâbun Nuzûl Surat al-Baqarah (2), Ayat: 118
وَقَالَ الَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ
لَوْلاَ يُكَلِّمُنَا اللهُ أَوْ تَأْتِيْنَا آيَةٌ كَذَلِكَ قَالَ الَّذِيْنَ مِنْ
قَبْلِهِمْ مِثْلَ قَوْلِهِمْ تَشَابَهَتْ قُلُوْبُهُمْ قَدْ بَيَّنَّا الآيَاتِ لِقَوْمٍ
يُّوْقِنُوْنَ (١١٨)
118. Dan orang-orang yang tidak mengetahui[1]
berkata: "Mengapa Allah tidak (langsung) berbicara dengan kami[2]
atau datang tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada kami[3]?".
Demikian pula orang-orang sebelum[4]
mereka telah mengatakan seperti ucapan mereka itu; hati mereka[5]
serupa. Sesungguhnya kami (Allah) telah menjelaskan tanda-tanda kekuasaan kami (Allah)
kepada Kaum yang yakin.
Al-Hâfizh[6] Ibnu Katsîr[7] mengeluarkan dalam Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîmnya (1/232), dengan
menisbahkan kepada Muhammad bin Ishâq dalam Tafsîr Muhammad Ibn Ishâqnya:
قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ: حَدَّثَنِيْ مُحَمَّدُ
بْنُ أَبِيْ مُحَمَّدٍ, عَنْ عِكْرِمَةَ أَوْ سَعِيْدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ, قَالَ: قَالَ رَافِعُ بْنُ حُرَيْمَلَةَ لِرَسُوْلِ اللهِ: يَا
مُحَمَّدٌ, إِنْ كُنْتَ رَسُوْلاً مِّنَ اللهِ كَمَا تَقُوْلُ, فَقُلِ اللهِ فَلْيُكَلِّمُنَا
حَتَّى نَسْمَعُ كَلاَمَهُ. فَأَنْزَلَ اللهُ فِيْ ذَالِكَ مِنْ قَوْلِهِ: (وَقَالَ الَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ لَوْلاَ يُكَلِّمُنَا
اللَّهُ أَوْ تَأْتِيْنَا آيَةٌ............).
“Muhammad bin Ishâq[8] berkata: “Muhammad bin Abî
Muhammad[9] telah bercerita kepada kami
(kepada Muhammad bin Ishâq), dari ‘Ikrimah[10], atau (dan) dari Sa’îd bin Jubair[11], dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs[12], dia (‘Abdullâh bin ‘Abbâs)
berkata: “Râfi’ bin Huraymalah berkata kepada Rasûlullâh SAW: “Wahai (Nabi)
Muhammad, jika anda seorang Rasûlullâh sebagaimana perkataanmu (sebagaimana
perkataan Nabi SAW), maka katakanlah kepada Allah (agar) berbicara (secara
langsung) kepada kami (kepada Râfi’ bin Huraymalah). Maka Allah SWT. menurunkan
mengenai perkataannya (perkataan Râfi’ bin Huraymalah):
وَقَالَ الَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ
لَوْلاَ يُكَلِّمُنَا اللَّهُ أَوْ تَأْتِيْنَا آيَةٌ ......... (١١٨)
118. Dan orang-orang yang tidak mengetahui berkata:
"Mengapa Allah tidak (langsung) berbicara dengan kami atau datang
tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada kami?" .............”.
Al-Hâfizh[16] Ibnu Abî Hâtim[17] juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Tafsîr Ibn Abî Hâtimnya
(1/215 atau No. Hadis: 1140), melalui jalur sanad[18] Salamah bin al-Fadhal.
Ibnu Hisyâm
juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam as-Sîrah an-Nabawiŷah li
Ibn Hisyâmnya (1/549).
Imâm Ibnu Jarîr[19] juga mengeluarkan sebagaimana Hadis di atas dalam Jâmi’ al-Bayân ‘an
Ta-wîl ay al-Qurânnya (Juz. 2, halaman: 474)[20],
melalui jalur sanad Abû Kuraib.
Al-Hâfizh Jalâluddîn as-Suyûthî[21] juga mengeluarkan sebagaimana Hadis di atas dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 1, 2/al-Baqarah), dengan
menisbahkan kepada al-Hâfizh Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsîr Ibn Abî
Hâtimnya (1/215 atau No. Hadis: 1140); serta menisbahkan kepada Imâm Ibnu
Jarîr dalam Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta-wîl ay al-Qurânnya (Juz. 2, halaman:
474)[22].
PENJELASAN
(kedudukan hadis di atas):
Atsar[23] ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas digolongkan Mawqûf li hukmi Marfû’,
maksudnya: hadis Mawqûf[24] yang dihukumi Marfû’[25]. Karena para Muhadditsîn[26] telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfû’,
dan salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab
turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu Ayat”.
Sebagaimana penjelasan
para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas tergolong hadis Mawqûf
yang dihukumi Marfû’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas) dapat dijadikan
sebagai hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).
KESIMPULAN
Hadis di atas berkualitas shahîh[27], dan dikuatkan ke-râjih-annya
dengan Hadis-hadis melalui jalur (sanad) lain sebagaimana yang telah
saya kemukakan di atas; sehingga kokoh dan kuatlah Hadis di atas, dan dapat
dijadikan hujjah (pedoman/landasan) dalam Syara’ (Islam).
BIBLIOGRAFI
As-Sîrah
an-Nabawiŷah li Ibn Hisyâm (Imâm Ibnu Hisyâm).
Jâmi’
al-Bayân ‘an Ta-wîl ay al-Qurân (Imâm Ibnu Jarîr/ al-Imâm al-‘Âlim Muhammad
bin
Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib).
Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb
an-Nuzûl (al-Hâfizh as-Suyûthî/ al-Imâm al-Hâfizh
‘Abdurrahmân
bin Abî Bakr).
Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm (al-Hâfizh
Ibnu Katsîr/ Ismâ’îl bin
‘Amr bin Katsîr).
Tafsîr
Ibn Abî Hâtim (al-Hâfizh Ibnu Abî Hâtim/
al-Imâm al-Hâfizh ‘Abdurrahmân
bin Abî
Hâtim).
Tafsîr Ibn Ishâq
(Ibnu Ishâq/ Muhammad bin Ishâq bin Yasâr).
[1] Di dalam “Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta-wîl ay al-Qurân,
Tahqîq ‘Abdullâh bin ‘Abdul Muhsin at-Tirkî”, karya Imâm Ibnu Jarîr
(Cetakan Pertama, Juz. 2, halaman: 473-475 dan 477): Mujâhid dan Imâm Ibnu Jarîr menafsirkan kata “ORANG-ORANG YANG TIDAK
MENGETAHUI” dengan: “Orang-orang Nashrani”. Sedangkan Qatâdah dan
ar-Rabî’ menafsirkan kata “ORANG-ORANG YANG TIDAK MENGETAHUI” dengan: “Orang-orang
Kâfir ‘Arab”. As-Sudŷ dan az-Zâ’im menafsirkan kata “ORANG-ORANG YANG TIDAK
MENGETAHUI” dengan: “Orang-orang ‘Arab”. Para Mufassirîn yang
lain menafsirkan kata “ORANG-ORANG YANG TIDAK MENGETAHUI” dengan: “Orang-orang
Yahûdi pada masa Rasûlullâh SAW”. Juga ada sebagian Mufassirîn yang menafsirkan
kata “ORANG-ORANG YANG TIDAK MENGETAHUI” dengan: “Orang-orang Musyrîk kaum
‘Arab”.
[4] Di dalam “Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta-wîl ay
al-Qurân, Tahqîq ‘Abdullâh bin ‘Abdul Muhsin at-Tirkî”, karya Imâm Ibnu
Jarîr (Cetakan Pertama, Juz. 2, halaman: 476-478): Mujâhid dan Imâm Ibnu Jarîr menafsirkan
kata “ORANG-ORANG SEBELUM MEREKA” dengan: “Orang-orang Yahûdi”.
Sedangkan Qatâdah, as-Sudŷ, ar-Rabî’ dan para Mufassirîn yang lain
menafsirkan kata “ORANG-ORANG SEBELUM MEREKA” dengan: “Orang-orang Yahûdi,
Nashrani dan yang lainnya”. Imâm Ibnu Jarîr menafsirkan kata “ORANG-ORANG
SEBELUM MEREKA” dengan: “Orang-orang ‘Arab”. Para Mufassirîn yang
lain menafsirkan kata “ORANG-ORANG SEBELUM MEREKA” dengan: “Orang-orang
Yahûdi pada masa Rasûlullâh SAW”. Juga ada sebagian Mufassirîn yang
menafsirkan kata “ORANG-ORANG SEBELUM MEREKA” dengan: “Orang-orang Musyrîk
kaum ‘Arab”.
[5] Di dalam “Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta-wîl ay
al-Qurân, Tahqîq ‘Abdullâh bin ‘Abdul Muhsin at-Tirkî”, karya Imâm Ibnu
Jarîr (Cetakan Pertama, Juz. 2, halaman: 478): Mujâhid menafsirkan kata “HATI MEREKA”
dengan: “Hati orang-orang Yahûdi dan Nashrani”. Sedangkan Qatâdah dan
ar-Rabî’ menafsirkan kata “HATI MEREKA” dengan: “Hati orang-orang ‘Arab, Yahûdi,
Nashrani dan yang lainnya”. Para Mufassirîn yang lain menafsirkan
kata “HATI MEREKA” dengan: “Hati orang-orang Kâfir ‘Arab, Yahûdi, Nashrani
dan yang lainnya”.
[6] Al-Hâfizh
adalah: Gelar ahli hadis yang dapat men-shahîh-kan sanad serta matan
hadis, dan dapat men-ta’dîl-kan dan men-jarh-kan para perawi
hadis, serta seorang Hâfizh itu harus mempunyai kapasitas menghafal
100.000 hadis. Contoh para Huffâzh: Ahmad bin Hanbal, Yahyâ bin Ma’în,
‘Alî bin al-Madînî, Bukhârî, Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwud, an-Nasâ-î, Ibnu
Mâjah, ad-Dârimî, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, al-Bayhaqî, ad-Dâruquthnî,
al-Hâkim, Zainuddîn ‘Abdurrahîm al-‘Irâqî, Syarafuddîn ad-Dimyathî, Ibnu Hajar
al-‘Asqalânî, al-Mizzî, al-Haitsamî, adz-Dzahabî, Abû Zar’ah ar-Râzî, Abû Hâtim
ar-Râzî, Ibnu Hazm, Ibnu Abî Hâtim, Ibnu ‘Adî, Ibnu al-Mundzir, Ibnu ‘Abdul
Bâr, Ibnu Katsîr, Ibnu as-Sakan, Jalâluddîn as-Suyûthî, Muhammad Nâshiruddîn
al-Albânî, dan sebagainya.
[7]
Nama lengkapnya yaitu: Ismâ’îl bin ‘Amr bin Katsîr. Nasab (keturunan)
nya yaitu: al-Qurasyî ad-Dimasyqî. Kuniyah (nama akrab) nya
yaitu: Abû al-Fidâ’. Laqab (gelar/titel) nya: Ibn Katsîr.
Ia (Ibnu Katsîr) adalah seorang tsiqqah mutqan al-Hâfizh (kredibel ke-‘âdl-an
dan ke-dhabith-annya, serta seorang al-Hâfizh yang kokoh dan kuat).
Ia (Ibnu Katsîr) juga seorang pakar tafsîr (tafsir), hadîts
(hadis) dan târîkh (sejarah). Ia (Ibnu Katsîr) lahir di Bashrah
pada tahun 700 Hijriyah. Tempat tinggalnya di Bashrah. Ia (Ibnu Katsîr)
wafat di Bashrah pada tahun 774 Hijriyah, dan dikubur di Damsyiq
(Damaskus).
[8]
Nama lengkapnya yaitu: Muhammad bin Ishâq bin Yasâr. Ia (Ibnu Ishâq) merupakan
seorang Tâbi’în junior. Ia (Ibnu Ishâq) di-tsiqqah-kan
(dikredibelkan ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya) oleh: al-Hâfizh
Yahyâ bin Ma’în, al-Hâfizh Ibnu Hibbân, dan al-‘Ijlî. Nasab
(keturunan) nya yaitu: al-Mathlabî. Kuniyah (nama akrab) nya
yaitu: Abû Bakr. Tempat tinggalnya di Madînah. Ia (Ibnu Ishâq)
wafat di Baghdâd pada tahun 150 Hijriyah.
[9]
Nama lengkapnya yaitu: Muhammad bin Abî Muhammad Maulâ Zaid bin Tsâbit.
Ia (Muhammad bin Abî Muhammad) merupakan seorang Tâbi’în dekat
pertengahan. Ia (Muhammad bin Abî Muhammad) di-tsiqqah-kan
(dikredibelkan ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya) oleh: al-Hâfizh
Ibnu Hibbân dan al-Hâfizh adz-Dzahabî.
[10]
Nama lengkapnya yaitu: ‘Ikrimah Maulâ ‘Abdullâh bin ‘Abbâs. Ia
(‘Ikrimah) merupakan seorang Tâbi’în pertengahan. Ia (‘Ikrimah) adalah
seorang tsiqqah tsabat (kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya,
serta seorang yang konsisten). Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Barbarî.
Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû ‘Abdullâh. Tempat tinggalnya
di Madînah. Ia (‘Ikrimah) wafat pada tahun 104 Hijriyah.
[11]
Nama lengkapnya yaitu: Sa’îd bin Jubair bin Hisyâm. Ia (Sa’îd bin Jubair)
merupakan seorang Tâbi’în pertengahan. Ia (Sa’îd bin Jubair) adalah
seorang tsiqqah tsabat (kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya,
serta seorang yang konsisten). Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Asadî.
Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû Muhamad. Tempat tinggalnya di
Kûfah. Ia (Sa’îd bin Jubair) wafat di ‘Irâq pada tahun 94
Hijriyah.
[12]
Nama lengkapnya yaitu: ‘Abdullâh bin ‘Abbâs bin ‘Abdul Muthallib bin Hâsyim. Ia
(Ibnu ‘Abbâs) merupakan seorang Sahabat dan juga seorang pakar tafsîr
(tafsir), fiqh (fikih), lughah (bahasa), Syi’ir (Sya’ir), farâidh
(waris) dan hadîts (hadis). Serta ia (Ibnu ‘Abbâs) telah meriwayatkan
1.660 Hadîts. Semua Sahabat Nabi SAW. tsiqqah dan ‘âdl. Nasab
(keturunan) nya yaitu: al-Qurasyî al-Hâsyimî. Kuniyah (nama
akrab) nya yaitu: Abû al-‘Abbâs. Laqab (gelar/titel) nya: Ibn
‘Abbâs, al-Hijr dan al-Bahr. Tempat tinggalnya di Marwa ar-Rawadz.
Ia (Ibnu ‘Abbâs) wafat di Thâ-if pada tahun 68 Hijriyah.
[13] Muhadditsîn
yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta
faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat
membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang
penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan
mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn:
Imâm Mâlik, Imâm asy-Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim,
at-Tirmidzî, Abû Dâwud, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan
sebagainya.
[14]
Hadis Shahîh ialah: Hadis yang bersambung (muttashil) sanadnya,
diriwayatkan oleh orang yang ‘âdl (‘âdl yaitu: orang yang
istiqamah dalam beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan cacat
muru’ah), sempurna ke-dhabith-annya, tidak ada keganjilan (syadzdz),
dan tidak ada kecacatan (‘illat).
[15] Tsiqqât
adalah: Para perawi hadis yang kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya.
[16] Al-Hâfizh
adalah: Gelar ahli hadis yang dapat men-shahîh-kan sanad serta matan
hadis, dan dapat men-ta’dîl-kan dan men-jarh-kan para perawi
hadis, serta seorang Hâfizh itu harus mempunyai kapasitas menghafal
100.000 hadis. Contoh para Huffâzh: Ahmad bin Hanbal, Yahyâ bin Ma’în,
‘Alî bin al-Madînî, Bukhârî, Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwud, an-Nasâ-î, Ibnu
Mâjah, ad-Dârimî, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, al-Bayhaqî, ad-Dâruquthnî, al-Hâkim,
Zainuddîn ‘Abdurrahîm al-‘Irâqî, Syarafuddîn ad-Dimyathî, Ibnu Hajar
al-‘Asqalânî, al-Mizzî, al-Haitsamî, adz-Dzahabî, Abû Zar’ah ar-Râzî, Abû Hâtim
ar-Râzî, Ibnu Hazm, Ibnu Abî Hâtim, Ibnu ‘Adî, Ibnu al-Mundzir, Ibnu ‘Abdul
Bâr, Ibnu Katsîr, Ibnu as-Sakan, Jalâluddîn as-Suyûthî, Muhammad Nâshiruddîn
al-Albânî, dan sebagainya.
[17]
Nama lengkapnya yaitu: ‘Abdurrahmân bin Abî Hâtim. Ia (Ibnu Abî Hâtim) adalah
seorang tsiqqah al-Hâfizh (kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya,
serta seorang al-Hâfizh). Nasab (keturunan) nya yaitu: ar-Râzî.
Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû Muhammad. Ia (Ibnu Abî Hâtim)
adalah pakar tafsîr (tafsir) dan hadîts (hadis). Ia (Ibnu Abî
Hâtim) wafat pada tahun 327 Hijriyah.
[18] Sanad
adalah: Mata rantai para perawi hadis yang menghubungkan ke matan
(redaksi/isi) hadis.
[19]
Nama lengkapnya yaitu: Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib
al-Âmalî. Ia (Ibnu Jarîr) merupakan seorang tsiqqah ‘âlim (kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya, serta seorang ‘âlim). Nasab
(keturunan) nya yaitu: al-Âmalî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû
Ja’far ath-Thabarî. Laqab (gelar/titel) nya: Abâ at-Tafsîr
dan Abâ at-Târîkh. Ia (Ibnu Jarîr) lahir di Thabari Sittân pada
tahun 224 Hijriyah. Tempat tinggalnya di Baghdâd. Ia (Ibnu Jarîr) wafat
di Baghdâd pada tahun 310 Hijriyah.
[20] Imâm Ibnu Jarîr. 2001. Tafsîr ath-Thabarî,
Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta-wîl ay al-Qurân; Tahqîq Dr. ‘Abdullâh bin ‘Abdul Muhsin
at-Tirkî. Kairo: Badâr Hajar. Cetakan Pertama, Juz. 2, halaman: 474.
[21]
Nama lengkapnya yaitu: ‘Abdurrahmân bin Abî Bakr. Kuniyah (nama akrab)
nya yaitu: Jalâluddîn. Laqab (gelar/titel) nya: as-Suyûthî.
Ia (as-Suyûthî) adalah seorang tsiqqah al-Hâfizh (kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya, serta seorang al-Hâfizh).
Serta ia (as-Suyûthî) juga seorang pakar tafsîr (tafsir), hadîts
(hadis), lughah (bahasa), adb (sastra), fiqh (fikih), târîkh
(sejarah) dan sebagainya. Nasab (keturunan) nya yaitu: as-Suyûthî.
Ia (as-Suyûthî) lahir di Qâhirah pada tahun 849 Hijriyah. Tempat
tinggalnya di Qâhirah. Ia (as-Suyûthî) wafat di Qâhirah pada
tahun 911 Hijriyah.
[23] Atsar adalah: Sesuatu yang disandarkan kepada
Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan perbuatan.
[24]
Hadis Mawqûf yaitu: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa
perkataan, perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus
sanadnya.
[25] Marfu’
maksudnya: Terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[26] Muhadditsîn
yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh,
hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh
dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari
sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya.
Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm asy-Syâfi’î, Imâm Ahmad bin
Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwud, an-Nasâ-î, Ibnu
Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.
[27]
Hadis Shahîh ialah: Hadis yang bersambung (muttashil) sanadnya,
diriwayatkan oleh orang yang ‘âdl (‘âdl yaitu: orang yang
istiqamah dalam beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan cacat
muru’ah), sempurna ke-dhabith-annya, tidak ada keganjilan (syadzdz),
dan tidak ada kecacatan (‘illat).