Kamis, 29 Desember 2011

Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 90


Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 90

إِلا الَّذِينَ يَصِلُونَ إِلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ أَوْ جَاءُوكُمْ حَصِرَتْ صُدُورُهُمْ أَنْ يُقَاتِلُوكُمْ أَوْ يُقَاتِلُوا قَوْمَهُمْ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَسَلَّطَهُمْ عَلَيْكُمْ فَلَقَاتَلُوكُمْ فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ وَأَلْقَوْا إِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيلا (٩٠)
90. Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang mana antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai)[1] atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu (kaum Muslim) dan memerangi kaumnya [2]. Kalau Allah menghendaki tentu Dia (Allah) memberi kekuasaan kepada mereka[3] terhadap kamu (kaum Muslim), lalu pastilah mereka memerangimu. Tetapi jika mereka[4] membiarkan kamu (kaum Muslim), dan tidak memerangi kamu (kaum Muslim) serta mengemukakan perdamaian kepadamu, maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka[5].





Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî meriwayatkan dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’), dengan menisbahkan kepada Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsîr Ibn Abî Hâtimnya:
“Dikemukakan oleh Ibnu Abî Hâtim yang bersumber dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs. ‘Abdullâh bin ‘Abbâs berkata: “Turunnya Ayat (Ayat: 90, Surat an-Nisâ’):
إِلا الَّذِينَ يَصِلُونَ إِلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ أَوْ جَاءُوكُمْ حَصِرَتْ صُدُورُهُمْ أَنْ يُقَاتِلُوكُمْ أَوْ يُقَاتِلُوا قَوْمَهُمْ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَسَلَّطَهُمْ عَلَيْكُمْ فَلَقَاتَلُوكُمْ فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ وَأَلْقَوْا إِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيلا (٩٠)
90. Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang mana antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai) atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu (kaum Muslim) dan memerangi kaumnya. Kalau Allah menghendaki tentu Dia (Allah) memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu (kaum Muslim), lalu pastilah mereka memerangimu. Tetapi jika mereka membiarkan kamu (kaum Muslim), dan tidak memerangi kamu (kaum Muslim) serta mengemukakan perdamaian kepadamu, maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka.

“(‘Abdullâh bin ‘Abbâs melanjutkan:) Mengenai Hilâl bin ‘Uwaimîr al-Aslamî, Suraqah bin Mâlik al-Mudlajî dan Bani Judzaimah bin Amir bin ‘Abdi Manaf yang telah mengadakan perjanjian perdamaian dengan Nabi SAW”.

KETERANGAN:
Kata Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’): “Hadis yang ia riwayatkan di atas berkualitas hasan”.



PENJELASAN:
Atsar[6] ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[7] yang dihukumi Marfu’[8]. Karena para Muhadditsîn[9] telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).









Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî meriwayatkan dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’), dengan menisbahkan kepada Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsîr Ibn Abî Hâtimnya:
“Dikemukakan oleh Ibnu Abî Hâtim yang bersumber dari Mujâhid al-Makky bahwa: “Ayat (Ayat: 90, Surat an-Nisâ’) diturunkan mengenai Hilâl bin ‘Uwaimîr al-Aslamî, dia (Hilâl bin ‘Uwaimîr al-Aslamî) telah membuat perjanjian damai dengan kaum Muslimîn, sedangkan kaumnya (kaumnya Hilâl bin ‘Uwaimîr al-Aslamî) hendak memerangi kaum Muslimîn, akan tetapi dia (Hilâl bin ‘Uwaimîr al-Aslamî) tidak berkehendak memerangi kaum Muslimîn, dan juga ia (Hilâl bin ‘Uwaimîr al-Aslamî) tidak berkehendak memerangi kaumnya (kaumnya Hilâl bin ‘Uwaimîr al-Aslamî)”.

KETERANGAN:
Kata Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’): “Hadis yang ia riwayatkan di atas berkualitas hasan”.



PENJELASAN:
‘Atsar Mujâhid al-Makky di atas adalah Hadis Maqthu’, akan tetapi Atsar di atas terdapat bukti-bukti yang kuat yang menunjukkan ke-marfu’-annya, sehingga Atsar di atas dihukumi Marfu’ Mursal. Karena para Muhadditsîn telah bersepakat bahwa: “Perkataan Tâbi’în terkadang dipandang sebagai perkataan Sahabat, apabila perkataan tersebut semata tidak diperoleh melalui ijtihad. Begitu juga sebaliknya, perkataan Sahabat yang dianggap bukan sebagai ijtihad, maka juga dipandang sebagai perkataan Nabi SAW. sendiri”. Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar Mujâhid al-Makky di atas tergolong Marfu’ Mursal oleh para Muhadditsîn.
Menurut pendapat Imâm Mâlik, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Abû Hanîfah dan ulama lain: “Hukum Hadis Mursal Tâbi’î shahîh dan dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan), jika yang me-mursal-kan tsiqqah”. Sedangkan Mujâhid al-Makky merupakan seorang Tâbi’în senior, tsiqqah dan ia (Mujâhid al-Makky) tidak menyalahi para Huffâzh yang amanah; Serta atsar (Mujâhid al-Makky) sesuai dengan persyaratan: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Abû Hanîfah, sebagian ahli ilmu dan para ulama lain. Sehingga Atsar Mujâhid al-Makky di atas dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).



KESIMPULAN:
Kedua Hadis di atas saling menguatkan antara Hadis pertama dengan hadis kedua, sehingga dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).







BIBLIOGRAFI

Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûl (as-Suyûthî/Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî).
Tafsîr Ibn Abî Hâtim (Ibnu Abî Hâtim).


















[1] Perjanjian Damai, maksudnya: Hilâl bin ‘Uwaimîr al-Aslamî, Suraqah bin Mâlik al-Mudlajî dan Bani Judzaimah bin Amir bin ‘Abdi Manaf telah mengadakan perjanjian damai dengan Nabi SAW, sehingga Nabi SAW. enggan untuk memerangi mereka (Hilâl bin ‘Uwaimîr al-Aslamî, Suraqah bin Mâlik al-Mudlajî dan Bani Judzaimah bin Amir bin ‘Abdi Manaf).
[2] Dalam riwayat Mursal Ibnu Abî Hâtim yang bersumber dari Mujâhid, yang dinuqil (kutip) oleh Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî bahwa yang dimaksud “Orang-orang Yang Datang Kepada Kamu Sedang Hati Mereka Merasa Keberatan Untuk Memerangi Kamu” mereka adalah: “Kaumnya Hilal bin ‘Uwaimir al-Aslamî yang hendak memerangi kaum Muslim, sedangkan ia (Hilal bin ‘Uwaimir al-Aslamî) enggan untuk memerangi kaum Muslim, karena ia (Hilâl bin ‘Uwaimîr al-Aslamî) telah membuat perjanjian damai dengan kaum Muslim”.
[3] Mereka yang dimaksud dalam Ayat ini yaitu: “Hilâl bin ‘Uwaimîr al-Aslamî beserta kaumnya, Suraqah bin Mâlik al-Mudlajî dan Bani Judzaimah bin Amir bin ‘Abdi Manaf”.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Atsar adalah: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan perbuatan.
[7] Hadis Mawqûf yaitu: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[8] Marfu’ maksudnya: Terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[9] Muhadditsîn yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.

Senin, 26 Desember 2011

Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 88

Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 88

فَمَا لَكُمْ فِي الْمُنَافِقِينَ فِئَتَيْنِ وَاللَّهُ أَرْكَسَهُمْ بِمَا كَسَبُوا...............................
88. Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan[1] dalam (menghadapi) orang-orang Munafik, padahal Allah telah membalikkan[2] mereka kepada kekafiran disebabkan usaha mereka sendiri ? ………………………………………………………………….




Imâm Bukhârî meriwayatkan dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârînya (8/359):
“Abû al-Walîd telah bercerita kepada kami (Bukhârî), katanya (Abû al-Walîd): “Syu’bah bin al-Hajjâj telah bercerita kepada kami (Abû al-Walîd) dari ‘Adî bin Tsâbit, katanya (‘Adî bin Tsâbit): “Saya mendengar ‘Abdullâh bin Yazîd bercerita dari Zaid bin Tsâbit, katanya (Zaid bin Tsâbit): “Ketika Rasûlullâh SAW. keluar menuju (bukit/gunung) Uhud, kembalilah sebagian dari mereka (orang-orang Munafik yang enggan berperang) yang sudah keluar bersama beliau SAW (menuju bukit/gunung Uhud). Akhirnya para Sahabat Nabi SAW. terpecah menjadi dua kelompok, golongan (kelompok) yang satu berkehendak memerangi golongan yang kembali[3] dan golongan (kelompok) yang lain mengatakan: “Kita (kaum Muslim) tidak boleh memerangi mereka[4]”. Maka turunlah Firman Allah SWT:
فَمَا لَكُمْ فِي الْمُنَافِقِينَ فِئَتَيْنِ وَاللَّهُ أَرْكَسَهُمْ بِمَا كَسَبُوا ............................
88. Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang Munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran disebabkan usaha mereka sendiri ? ………………………………………………………………….

“Dan kata beliau SAW: “Sesungguhnya (kota Madînah) ini thayyibah, dia (kota Madînah) akan menghabiskan dosa seperti api menghabiskan karatan besi”.


KETERANGAN :
Imâm Bukhârî juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Tafsîr al-Kabîrnya (9/325). Imâm Muslim juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam al-Jâmi ash-Shahîh li Muslimnya (17/123); akan tetapi dalam riwayat Imâm Muslim tidak ada redaksi (matan) tambahan dari Nabi SAW: “Sesungguhnya (Madinah) ini thayyibah…………………………..…”. At-Tirmidzî juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh Sunan at-Tirmidzînya (4/89), dan kata at-Tirmidzî: Hadis yang ia (at-Tirmidzî) riwayatkan berkualitas hasan shahîh”. Imâm Ahmad bin Hanbal juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Musnad al-Imâm Ahmad Ibn Hanbalnya (5/184, 5/187 dan 5/188). Ibnu Jarîr juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Jâmi’ al-Bayân fî at-Ta’wîl al-Qurânnya (5/192). Ath-Thabrânî juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam al-Mu’jam al-Kabîrnya (5/129). Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’), dengan menisbahkan kepada Imâm Bukhârî dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârînya (8/359); Serta menisbahkan kepada Imâm Muslim dalam al-Jâmi ash-Shahîh li Muslimnya (17/123).



PENJELASAN:
Atsar[5] Zaid bin Tsâbit di atas digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[6] yang dihukumi Marfu’[7]. Karena para Muhadditsîn[8] telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar Zaid bin Tsâbit di atas tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis Zaid bin Tsâbit di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).







BIBLIOGRAFI

Al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârî (Imâm Bukhârî/Abû ‘Abdullâh Muhammad bin Ismâ’îl bin
Ibrâhîm bin al-Mughîrah bin Bardizbah al-Ju’fî al-Bukhârî).
Al-Jâmi’ ash-Shahîh li Muslim (Imâm Muslim/al-Imâm Abî al-Husain Muslim bin al-Haĵâj
Ibnu Muslim al-Qusyairî an-Naisâbûrî).
Al-Jâmi’ ash-Shahîh Sunan at-Tirmidzî (at-Tirmidzî/al-Imâm al-Hâfizh Abî ‘Îsâ Muhammad
bin ‘Îsâ bin Saurah at-Tirmidzî).
Al-Mu’jam al-Kabîr (ath-Thabrânî/Sulaimân bin Ahmad ath-Thabrânî).
Jâmi’ al-Bayân fî at-Ta’wîl al-Qurân (Ibnu Jarîr/Abû Ja’far ath-Thabarî Muhammad bin
Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmalî).
Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûl (as-Suyûthî/Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî).
Musnad al-Imâm Ahmad Ibn Hanbal (Imâm Ahmad bin Hanbal/Ahmad bin Hanbal Abû
‘Abdullâh asy-Syaibânî).
Tafsîr al-Kabîr (Imâm Bukhârî/Abû ‘Abdullâh Muhammad bin Ismâ’îl bin Ibrâhîm bin
al-Mughîrah bin Bardizbah al-Ju’fî al-Bukhârî).






















[1] Dua Golongan, maksudnya: Golongan orang-orang Mukmin yang membela orang-orang Munafik, dan golongan orang-orang Mukmin yang memusuhi orang-orang Munafik.
[2] Membalikkan, maksudnya: Mengembalikan orang-orang Muslim yang kembali karena enggan berperang menjadi orang-orang Munafik dan Kafir.
[3] Golongan Yang Kembali, maksudnya: Orang-orang Munafik yang kembali karena enggan berperang.
[4] Ibid., hlm.1.
[5] Atsar adalah: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan perbuatan.
[6] Hadis Mawqûf yaitu: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[7] Marfu’ maksudnya: Terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[8] Muhadditsîn yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.

Kamis, 22 Desember 2011

Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 83

Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 83

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الأمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الأمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلا قَلِيلا (٨٣)
83. Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri[1] di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)[2]. Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut Syaitan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).



Imâm Muslim meriwayatkan dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li Muslimnya (10/82):
“Zuhair bin Harb telah bercerita kepada saya (Muslim), katanya (Zuhair bin Harb): “Telah bercerita kepada kami (Zuhair bin Harb) ‘Umar bin Yûnus al-Hanafî, katanya (‘Umar bin Yûnus al-Hanafî): “Telah bercerita kepada kami (‘Umar bin Yûnus al-Hanafî) ‘Ikrimah bin ‘Ammar dari Simak Abû Zumail, katanya (Simak Abû Zumail): “Telah bercerita kepada saya (Simak Abû Zumail) ‘Abdullâh bin ‘Abbâs, katanya (‘Abdullâh bin ‘Abbâs): “Telah bercerita kepada saya (‘Abdullâh bin ‘Abbâs) ‘Umar bin al-Khaththâb, dia (‘Umar bin al-Khaththâb) berkata: “Ketika Nabi SAW. menjauhi para  isterinya, saya (‘Umar bin al-Khaththâb) memasuki Masjid. Ternyata kaum Muslimîn tertunduk mengetuk-ngetukkan kerikil dan (kaum Muslimîn) mengatakan: “Rasûlullâh SAW. telah menthalâq (mencerai) para isterinya”. Itu terjadi sebelum ada perintah hijab.
“Kata ‘Umar bin al-Khaththâb: “Saya (‘Umar bin al-Khaththâb) berkata: “Hari ini saya (‘Umar bin al-Khaththâb) harus benar-benar mengetahui hal itu[3]. Saya (‘Umar bin al-Khaththâb) pun masuk menemui ‘Âisyah binti Abû Bakar ash-Shiddîq dan (‘Umar bin al-Khaththâb) berkata: “Wahai puteri ash-Shiddîq, sudah sampai urusanmu seperti itu menyakiti Rasûlullâh SAW. Maka dia (‘Âisyah binti Abû Bakar ash-Shiddîq) pun berkata: “Apa urusanmu (‘Umar bin al-Khaththâb) dengan urusanku (‘Âisyah binti Abû Bakar ash-Shiddîq) ini wahai putera al-Khaththâb, uruslah aibmu sendiri”.
Katanya (‘Umar bin al-Khaththâb): “ Saya (‘Umar bin al-Khaththâb) pun menemui Hafshah binti ‘Umar bin al-Khaththâb (selaku puterinya) dan (‘Umar bin al-Khaththâb) berkata kepadanya (Hafshah binti ‘Umar bin al-Khaththâb): “ Wahai Hafshah, sudah sampai urusanmu seperti ini hingga menyakiti Rasûlullâh SAW; padahal sungguh engkau (Hafshah binti ‘Umar bin al-Khaththâb) tahu bahwa: “Rasûlullâh SAW. tidak mencintaimu (Hafshah binti ‘Umar bin al-Khaththâb)”. Kalau bukan karena aku (‘Umar bin al-Khaththâb) tentulah Rasûlullâh SAW. sudah menceraikanmu (Hafshah binti ‘Umar bin al-Khaththâb)”. Dia (Hafshah binti ‘Umar bin al-Khaththâb) pun menangis tersedu-sedu begitu hebatnya. Lalu aku (‘Umar bin al-Khaththâb) katakan kepadanya (Hafshah binti ‘Umar bin al-Khaththâb): “Di mana Rasûlullâh SAW?”. Katanya (Hafshah binti ‘Umar bin al-Khaththâb): “Di gudangnya di loteng (kamar yang berada di atas rumah)”. Lalu aku (‘Umar bin al-Khaththâb) masuk, ternyata di situ (di kamar yang berada di atas rumah) ada Rabah bujang, Rasûlullâh SAW. sedang  duduk di atas ambang pintu masuk loteng sambil menjulurkan kakinya ke tangga tempat naik dan turun Rasûlullâh SAW. Saya (‘Umar bin al-Khaththâb) pun memanggilnya (Nabi SAW): “Wahai Rabah (Nabi SAW), bolehkah saya (‘Umar bin al-Khaththâb) masuk ke dalam?”. Rabah (Nabi SAW.) menoleh ke arah kamar lalu melihatku (melihat ‘Umar bin al-Khaththâb) namun tidak mengucapkan apa-apa. Saya (‘Umar bin al-Khaththâb) berkata lagi: “Wahai Rabah (Nabi SAW), bolehkah saya (‘Umar bin al-Khaththâb) masuk ke dalam?”. Rabah (Nabi SAW.) menoleh ke arah kamar lalu melihatku (melihat ‘Umar bin al-Khaththâb) namun tidak mengucapkan apa-apa. Kemudian saya (‘Umar bin al-Khaththâb) mengeraskan suara dan berkata: “Wahai Rabah (Nabi SAW), bolehkah saya masuk ke dalam?”. Karena saya (‘Umar bin al-Khaththâb) mengira Rasûlullâh SAW. menduga saya (‘Umar bin al-Khaththâb) datang karena Hafshah binti ‘Umar bin al-Khaththâb. Demi Allah SWT; seandainya Rasûlullâh SAW. memerintahkan saya (‘Umar bin al-Khaththâb) menebas lehernya (lehernya Hafshah binti ‘Umar bin al-Khaththâb), pasti aku (‘Umar bin al-Khaththâb) tebas lehernya (lehernya Hafshah binti ‘Umar bin al-Khaththâb)”. Saya (‘Umar bin al-Khaththâb) pun mengeraskan suara saya (‘Umar bin al-Khaththâb). Akhirnya dia (Nabu SAW.)  mengisyaratkan agar saya (‘Umar bin al-Khaththâb) naik. Saya masuk menemui Rasûlullâh SAW. yang sedang berbaring di atas sehelai tikar, lalu saya (‘Umar bin al-Khaththâb) duduk dan beliau SAW. mendekatkan sarungnya, tidak ada barang lain di dekat beliau SAW. selain itu (selain tikar). Ternyata tikar itu membekas di lambung beliau SAW. Saya (‘Umar bin al-Khaththâb) palingkan pandanganku (‘Umar bin al-Khaththâb) ke arah perabot Rasûlullâh SAW; ternyata hanya saya (‘Umar bin al-Khaththâb) dapatkan segenggam gandum sekitar satu gantang dan daun untuk menyamak di sudut kamar, serta sehelai kulit belum selesai disamak”.
Kata ‘Umar bin al-Khaththâb: “Air mataku (‘Umar bin al-Khaththâb) berlinang, dan beliau SAW. pun bertanya: “Apa yang membutamu (‘Umar bin al-Khaththâb) menangis wahai putera al-Khaththâb?”.  Saya (‘Umar bin al-Khaththâb) berkata: “Wahai Rasûlullâh SAW; bagaimana aku (‘Umar bin al-Khaththâb) tidak menangis. Tikar ini membekas di lambungmu (di lambung Nabi SAW.), dan simpananmu (barang yang dimiliki Nabi SAW. di sekitarnya) ini tidak satu pun aku (‘Umar bin al-Khaththâb) lihat kecuali apa yang ada ini[4], sementara Kaisar Romawî dan Kisrâ (Parsî) di antara buah-buahan dan sungai yang mengalir. Sedangkam engkau (Nabi SAW.) adalah Rasûl (utusan) Allah SWT; pilihan-Nya, akan tetapi harta bendamu hanya ini[5]”. Beliau (Nabi SAW.) pun mengatakan: ‘Wahai putera al-Khaththâb, apakah engkau (‘Umar bin al-Khaththâb) tidak ridha (rela) Akhirat menjadi milik kita (seluruh kaum Muslim) dan Dunia menjadi milik mereka (kaum non Muslim)?”. Saya (‘Umar bin al-Khaththâb) menjawab: Tentu”. Katanya lagi: “Ketika saya (‘Umar bin al-Khaththâb) masuk menemui beliau SAW; saya (‘Umar bin al-Khaththâb) melihat wajah beliau SAW. sedang marah. Saya (‘Umar bin al-Khaththâb) pun berkata: “Wahai Rasûlullâh SAW. para perempuan ini (para isterimu) jangan sampai menyusahkanmu (menyusahkan Nabi SAW).  Kalau anda (Nabi SAW.) ceraikan mereka (para isterimu), maka sesungguhnya Allah SWT. bersamamu (bersama Nabi SAW), para Malaikat-Nya, Jibrîl, Mikail, saya (‘Umar bin al-Khaththâb), Abû Bakar ash-Shiddîq dan kaum Mukmîn semuanya bersamamu (bersama Nabi SAW.). Tidaklah aku (‘Umar bin al-Khaththâb) berbicara dan memuji Allah SWT; melainkan aku (‘Umar bin al-Khaththâb) berharap Allah SWT. membenarkan ucapan yang aku (‘Umar bin al-Khaththâb) keluarkan. Dan turunlah Ayat Takhyîr (pilihan) ini (Surat at-Tahrîm, Ayat: 4-5):
إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا وَإِنْ تَظَاهَرَا عَلَيْهِ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ مَوْلاهُ وَجِبْرِيلُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمَلائِكَةُ بَعْدَ ذَلِكَ ظَهِيرٌ (٤)
عَسَى رَبُّهُ إِنْ طَلَّقَكُنَّ أَنْ يُبْدِلَهُ أَزْوَاجًا خَيْرًا مِنْكُنَّ مُسْلِمَاتٍ مُؤْمِنَاتٍ قَانِتَاتٍ تَائِبَاتٍ عَابِدَاتٍ سَائِحَاتٍ ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَارًا (٥)
4. Jika kamu berdua[6] bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua[7] bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya (Pelindung Nabi SAW.) dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang Mukmin yang baik; dan selain itu Malaikat-malaikat adalah penolongnya (penolong Nabi SAW) pula.
5. Jika Nabi menceraikan kamu, boleh Jadi Tuhan (Allah) nya akan memberi ganti kepadanya (kepada Nabi SAW.) dengan isteri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan”.

“Dahulu ‘Âisyah binti Abû Bakar ash-Shiddîq dan Hafsah binti ‘Umar bin al-Khaththâb bantu-membantu menghadapi sekalian isteri-isteri Nabi SAW. ‘Umar bin al-Khaththâb berkata: “Wahai Rasûlullâh SAW; apakah engkau (Nabi SAW.) menceraikan mereka (‘Âisyah binti Abû Bakar ash-Shiddîq dan Hafsah binti ‘Umar bin al-Khaththâb)?”. Beliau SAW. menjawab: “Tidak”. Saya (‘Umar bin al-Khaththâb) pun berkata: “Wahai Rasûlullâh SAW; sesungguhnya saya (‘Umar bin al-Khaththâb) masuk Masjid dan kaum Muslim dalam keadaan tertunduk memainkan kerikil, mereka (kaum Muslim) mengatakan: “Rasûlullâh SAW. menceraikan para isterinya”. Bolehkah saya (‘Umar bin al-Khaththâb) turun menyampaikan berita kepada mereka (kaum Muslim) bahwa engkau (Nabi SAW.) tidak menceraikan mereka (‘Âisyah binti Abû Bakar ash-Shiddîq dan Hafsah binti ‘Umar bin al-Khaththâb)?”. Kata beliau SAW: “Ya, kalau kamu (‘Umar bin al-Khaththâb) mau”. Saya (‘Umar bin al-Khaththâb) terus berbincang-bincang dengan beliau SAW. hingga marah beliau SAW. hilang bahkan sampai beliau SAW. tertawa, sedangkan beliau SAW. adalah orang yang paling tampan. Saya (‘Umar bin al-Khaththâb) pun turun sambil melompat karena emosi[8], kemudian Nabi SAW. turun, seolah-olah beliau SAW. berjalan di tanah tanpa menyentuhya (tanpa menyentuh tanah). Saya (‘Umar bin al-Khaththâb) berkata: “Wahai Rasûlullâh SAW; engkau (Nabi SAW.) di kamar itu (selama) 29 hari”.
Kata beliau (Nabi SAW): “Sesungguhnya satu bulan itu berjumlah 29 hari”. Saya (‘Umar bin al-Khaththâb) pun berdiri di pintu Masjid dan berseru sekeras-kerasnya bahwa Rasûlullâh SAW. tidak menceraikan isteri-isterinya. Lalu turunlah Ayat ini (Ayat: 83, Surat an-Nisâ’):
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الأمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الأمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلا قَلِيلا (٨٣)
83. Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut Syaitan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu)”.

“Kata ‘Umar bin al-Khaththâb: “Saya (‘Umar bin al-Khaththâb) lah yang mengetahui kebenaran masalah itu[9], dan Allah SWT. menurunkan Ayat Takhyir/pilihan (Surat al-Ahzâb, Ayat: 28-29)”.


KETERANGAN dan PENJELASAN:
Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Lubab an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’).
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadî al-Wadi’î juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam ash-Shahîh al-Musnad min Asbâb an-Nuzûlnya (Surat an-Nisâ’, Ayat: 83).
Atsar[10] ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[11] yang dihukumi Marfu’[12]. Karena para Muhadditsîn[13] telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).






BIBLIOGRAFI

Al-Jâmi’ ash-Shahîh li Muslim (Imâm Muslim/al-Imâm Abî al-Husain Muslim bin al-Haĵâj
Ibnu Muslim al-Qusyairî an-Naisâbûrî).
Ash-Shahîh al-Musnad min Asbâb an-Nuzûl (asy-Syaikh Muqbil bin Hadî al-Wadi’î).
Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûl (as-Suyûthî/Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî).















[1] Ulil Amri, maksudnya: Tokoh-tokoh Sahabat dan para cendekiawan di antara para Sahabat Nabi SAW.
[2] Menurut Mufassirîn yang lain maksudnya ialah: Kalau suatu berita tentang keamanan dan ketakutan itu disampaikan kepada Rasul dan ulil Amri, tentulah Rasul dan ulil amri yang ahli dapat menetapkan kesimpulan (istimbat) dari berita itu.
[3] Hal Itu, maksudnya: Hal bahwa apakah Rasûlullâh SAW. benar-benar telah menceraikan para isterinya?.
[4] Apa Yang Ada Ini, maksudnya: Apa yang ada di kamar loteng Nabi SAW; berupa tikar, sarung, segenggam gandum sekitar satu gantang, sehelai daun untuk menyamak dan sehelai kulit belum selesai disamak.
[5] Ibid., hlm.3.
[6] Kamu Berdua, mereka adalah: ‘Âisyah binti Abû Bakar ash-Shiddîq dan Hafsah binti ‘Umar bin al-Khaththâb.
[7] Ibid., hlm.4.
[8] Karena Emosi, maksudnya: Perasaan gembira yang luar biasa karena melihat Nabi SAW. dapat ceria kembali.
[9] Masalah Itu, maksudnya: Masalah perselisihan antara Nabi SAW. dengan para isterinya yaitu: ‘Âisyah dan Hafshah.
[10] Atsar adalah: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan perbuatan
[11] Hadis Mawqûf yaitu: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[12] Marfu’ maksudnya: terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[13] Muhadditsîn yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.