Kamis, 30 Juni 2011

Asbâbun Nuzûl Surat ali-‘Imran (3) ayat: 154


Asbâbun Nuzûl Surat ali-‘Imran (3) ayat: 154

ثُمَّ أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ بَعْدِ الْغَمِّ أَمَنَةً نُعَاسًا يَغْشَى طَائِفَةً مِنْكُمْ وَطَائِفَةٌ قَدْ أَهَمَّتْهُمْ أَنْفُسُهُمْ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ يَقُولُونَ هَلْ لَنَا مِنَ الأمْرِ مِنْ شَيْءٍ قُلْ إِنَّ الأمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ يُخْفُونَ فِي أَنْفُسِهِمْ مَا لا يُبْدُونَ لَكَ يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ مَا قُتِلْنَا هَا هُنَا قُلْ لَوْ كُنْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَى مَضَاجِعِهِمْ وَلِيَبْتَلِيَ اللَّهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ وَلِيُمَحِّصَ مَا فِي قُلُوبِكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ (١٥٤)
154. Kemudian setelah kamu berdukacita, Allah menurunkan kepada kamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan dari pada kamu, sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri, mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah. Mereka berkata: "Apakah ada bagi kita sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?". Katakanlah: "Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah". Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata: "Sekiranya ada bagi kita sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini". Katakanlah: "Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh". Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha mengetahui isi hati.



Imâm at-Tirmidzî meriwayatkan dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh Sunan at-Tirmidzînya (4/84):
“Telah bercerita kepada kami (at-Tirmidzî) ‘Abd bin Humaid, katanya (‘Abd bin Humaid): “Rauh bin ‘Ubadah telah bercerita kepada kami (‘Abd bin Humaid) dari Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas dari Abu Thalhah, katanya (Abu Thalhah): “Saya mengangkat kepalaku pada waktu perang Uhud, lalu saya pun melihat ternyata tidak satu pun dari mereka melainkan bergoyang di bawah perisainya karena mengantuk. Itulah firman Allah SWT:
ثُمَّ أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ بَعْدِ الْغَمِّ أَمَنَةً نُعَاسًا يَغْشَى طَائِفَةً مِنْكُمْ وَطَائِفَةٌ قَدْ أَهَمَّتْهُمْ أَنْفُسُهُمْ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ يَقُولُونَ هَلْ لَنَا مِنَ الأمْرِ مِنْ شَيْءٍ قُلْ إِنَّ الأمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ يُخْفُونَ فِي أَنْفُسِهِمْ مَا لا يُبْدُونَ لَكَ يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ مَا قُتِلْنَا هَا هُنَا قُلْ لَوْ كُنْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَى مَضَاجِعِهِمْ وَلِيَبْتَلِيَ اللَّهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ وَلِيُمَحِّصَ مَا فِي قُلُوبِكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ (١٥٤)
154. Kemudian setelah kamu berdukacita, Allah menurunkan kepada kamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan dari pada kamu, sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri, mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah. Mereka berkata: "Apakah ada bagi kita sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?". Katakanlah: "Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah". Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata: "Sekiranya ada bagi kita sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini". Katakanlah: "Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh". Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha mengetahui isi hati”.


KETERANGAN:
Kata at-Tirmidzî: “Hadis di atas berkualitas hasan shahih”. Lalu kata beliau (at-Tirmidzî):
“Abd bin Humaid telah bercerita kepada kami (at-Tirmidzî), katanya (‘Abd bin Humaid): “Rauh bin ‘Ubadah telah bercerita kepada kami (‘Abd bin Humaid) dari Hammad bin Salamah dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya (ayahnya Hisyam bin ‘Urwah) dari az-Zubair, dengan redaksi (matan) yang sama dengan periwayatan (hadis at-Tirmidzî) di atas”.






Imâm Jalâludin as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya (Juz. 4, 3/ali-‘Imran) dengan menisbahkan kepada Ahmad bin Rahawaih dalam Mathâlib al-‘Aliyahnya (4/219):
“Dikemukakan oleh Ahmad bin Rahawaih yang bersumber dari az-Zubair. Az-Zubair berkata: “Sungguh aku yakin bahwa pada hari perang Uhud, kami (kaum muslim) merasa ketakutan yang luar biasa, dan Allah SWT. mengirimkan kami rasa mengantuk sehingga terkelap (dagunya terkulai di dadanya). Demi Allah, saya betul-betul mendengar seperti mimpi ucapan Mutib bin Qusyair (sebagaimana dalam ayat):
........ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ مَا قُتِلْنَا هَا هُنَا...................
“Saya (az-Zubair) pun menghafalnya, lalu Allah SWT. menurunkan firman-Nya tentang itu:
ثُمَّ أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ بَعْدِ الْغَمِّ أَمَنَةً نُعَاسًا يَغْشَى طَائِفَةً مِنْكُمْ وَطَائِفَةٌ قَدْ أَهَمَّتْهُمْ أَنْفُسُهُمْ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ يَقُولُونَ هَلْ لَنَا مِنَ الأمْرِ مِنْ شَيْءٍ قُلْ إِنَّ الأمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ يُخْفُونَ فِي أَنْفُسِهِمْ مَا لا يُبْدُونَ لَكَ يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ مَا قُتِلْنَا هَا هُنَا..................
“Karena ucapan Mutib bin Qusyair, katanya (sebagaimana dalam ayat):
................. لَوْ كُنْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَى مَضَاجِعِهِمْ وَلِيَبْتَلِيَ اللَّهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ وَلِيُمَحِّصَ مَا فِي قُلُوبِكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ."


KETERANGAN:
Kata Imâm Jalâludin as-Suyûthî: “Hadis yang ia keluarkan di atas berkualitas hasan shahih.






CATATAN:
Ungkapan at-Tirmidzî dan para ahli Hadis yang lain mengenai: “Hadis ini berkualitas hasan shahih”. Makna ungkapan tersebut ada beberapa pendapat, di antaranya:
1.      Hadis tersebut memiliki dua sanad (jalur perawi hadis), yakni shahih dan hasan.
2.  Terjadi perbedaan dalam penilaian hadis, sebagian berpendapat shahih dan golongan lain berpendapat hasan.
3.       Atau dinilai hasan lidzatihi atau shahih lighayrihi.







BIBLIOGRAFI

Al-Jâmi’ ash-Shahîh Sunan at-Tirmidzî (at-Tirmidzî/al-Imâm al-Hâfidz Abî ‘Îsâ
Muhammad bin ‘Îsâ bin Saurah at-Tirmidzî).
Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûli (as-Suyûthî/Imâm Jalâludin as-Suyûthî).
Mathâlib al-‘Aliyah (Muhammad bin Rahawaih/Ibnu Rahawaih).



Senin, 27 Juni 2011

Asbâbun Nuzûl Surat ali-‘Imran (3) ayat: 144

Asbâbun Nuzûl Surat ali-‘Imran (3) ayat: 144

وَمَا مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ (١٤٤)
144. Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? . Siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.



Imâm Jalâludin as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya (Juz. 4, 3/ali-‘Imran) dengan menisbahkan kepada Ibnu al-Mundzîr dalam Tafsîr Ibn al-Mundzirnya:
“Dikemukakan oleh Ibnu al-Mundzîr yang bersumber dari Umar bin al-Khatthab. Umar bin al-Khatthab berkata: “Kami (para sahabat) terpisah dari Rasulullah SAW. pada perang Uhud, lalu kami (para sahabat) naik gunung mendengar orang-orang Yahudi berteriak: “(Nabi) Muhammad telah terbunuh!”. Saya pun berteriak: “Telingaku tidak mau mendengar seorang pun yang berkata (Nabi) Muhammad terbunuh, dia pasti kupancung lehernya”. Lalu saya (Umar bin al-Khatthab) melihat Rasulullah SAW. dan orang-orang yang mendampingi Beliau kembali ke posnya masing-masing. Maka turunlah ayat:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ (١٤٤)
144. Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? . Siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”.




Imâm Jalâludin as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya (Juz. 4, 3/ali-‘Imran) dengan menisbahkan kepada Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsîr Ibn Abî Hâtimnya:
“Dikemukakan oleh Ibnu Abî Hâtim yang bersumber dari ar-Rabi’. Ar-Rabi’ berkata: “Ketika orang-orang Islam terkena musibah, yaitu luka-luka parah di perang Uhud, mereka menyebut-nyebut Nabiyullah (Muhammad SAW.), sementara ada yang berteriak: “Dia (Nabi Muhammad) telah terbunuh”. Sebagian lagi berkata: “Kalau dia (Nabi Muhammad) seorang Nabi dia (Nabi Muhammad) tidak akan terbunuh”. Yang lain berkata: “Berperanglah mengikuti jejak Rasulullah SAW. sehingga mendapat kemenangan atau mati syahid bersama Beliau (Nabi Muhammad). Maka Allah SWT. menurunkan ayat:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ (١٤٤)
144. Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? . Siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”.





Imâm Jalâludin as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya (Juz. 4, 3/ali-‘Imran) dengan menisbahkan kepada al-Baihaqî dalam kitab ad-Dalâilnya:
“Dikemukakan oleh al-Baihaqî yang bersumber dari Abî Nâjih, bahwa ada seorang lelaki dari kaum Muhajirin bertemu dengan seorang lelaki kaum Anshar yang sedang berlumuran darah segar, dan berkatalah ia (seorang lelaki dari kaum Muhajirin): “Tahukah engkau bahwa (Nabi) Muhammad SAW. telah terbunuh?”. Lelaki Anshar tersebut menjawab: “Seandainya (Nabi) Muhammad terbunuh, maka ia (Nabi Muhammad) telah sampai kepada tujuan sebaik-baiknya. Maka berperanglah kamu untuk membela agamamu”. Maka turunlah ayat:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ (١٤٤)
144. Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? . Siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”.





Imâm Jalâludin as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya (Juz. 4, 3/ali-‘Imran) dengan menisbahkan kepada Ahmad bin Rahawaih dalam Musnad Ahmad Ibn Rahawaihnya:
“Dikemukakan oleh Ahmad bin Rahawaih yang bersumber dari az-Zuhrî, bahwa Setan berteriak-teriak pada waktu perang Uhud: “Bahwa (Nabi) Muhammad telah terbunuh!”. Berkatalah Ka’b bin Malik: “Aku lah orang pertama kali mengenali Rasulullah SAW. dari balik topi besinya, lantas ia (Ka’b bin Malik) berteriak sekuat tenaganya: “Ini dia Rasulullah SAW!”. Maka Allah SWT. menurunkan ayat:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ (١٤٤)
144. Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? . Siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”.

KETERANGAN:
Kata Imâm Jalâludin as-Suyûthî: “Hadis-hadis yang ia keluarkan di atas berkualitas Hasan”.








BIBLIOGRAFI

Ad-Dalâil (al-Baihaqî).
Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûli (as-Suyûthî/Imâm Jalâludin as-Suyûthî).
Musnad Ahmad Ibn Rahawaih (Ibnu Rahawaih/Muhammad bin Rahawaih).
Tafsîr Ibn Abî Hâtim (Ibnu Abî Hâtim).
Tafsîr Ibn al-Mundzîr (Ibnu al-Mundzîr).



Selasa, 21 Juni 2011

Perumpamaan Orang yang Menuntut Ilmu


Dari Abu Musa, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَثَلُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا ، فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ ، فَأَنْبَتَتِ الْكَلأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ ، وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ ، فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ ، فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا ، وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى ، إِنَّمَا هِىَ قِيعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً ، وَلاَ تُنْبِتُ كَلأً ، فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقِهَ فِى دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ ، فَعَلِمَ وَعَلَّمَ ، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا ، وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِى أُرْسِلْتُ بِهِ
“Permisalan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya adalah bagai ghaits (hujan yang bermanfaat) yang mengenai tanah. Maka ada tanah yang baik, yang bisa menyerap air sehingga menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rerumputan yang banyak. Di antaranya juga ada tanah yang ajadib (tanah yang bisa menampung air, namun tidak bisa menyerap ke dalamnya), maka dengan genangan air tersebut Allah memberi manfaat untuk banyak orang, sehingga manusia dapat mengambil air minum dari tanah ini. Lalu manusia dapat memberi minum untuk hewan ternaknya, dan manusia dapat mengairi tanah pertaniannya. Jenis tanah ketiga adalah tanah qi’an (tanah yang tidak bisa menampung dan tidak bisa menyerap air). Inilah permisalan orang yang memahami agama Allah, bermanfaat baginya ajaran yang Allah mengutusku untuk membawanya. Dia mengetahui ajaran Allah dan dia mengajarkan kepada orang lain. Dan demikianlah orang yang tidak mengangkat kepalanya terhadap wahyu, dia tidak mau menerima petunjuk yang Allah mengutusku untuk membawanya”. (HR. Bukhari dan Muslim). 

Ilmu yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah ilmu syar’i (ilmu agama). Ilmu tersebut dimisalkan dengan ghoits yaitu hujan yang bermanfaat, tidak rintik dan tidak pula terlalu deras. Ghoits dalam Al Qur’an dan As Sunnah sering digunakan untuk hujan yang bermanfaat berbeda dengan al maa’ dan al mathr yang sama-sama bermakna hujan. Adapun al mathr, kebanyakan digunakan untuk hujan yang turun dari langit, namun untuk hujan yang mendatangkan bahaya. Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,
وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا فَسَاءَ مَطَرُ الْمُنْذَرِينَ
“Dan Kami hujani mereka dengan hujan (batu) maka amat jeleklah hujan yang menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan itu”. (QS. Asy Syu’ara: 173).
Sedangkan mengenai ghoits, Allah Ta’ala berfirman,
ثُمَّ يَأْتِي مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ عَامٌ فِيهِ يُغَاثُ النَّاسُ وَفِيهِ يَعْصِرُونَ
“Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan dimasa itu mereka memeras anggur”. (QS. Yusuf: 49) (Asbaabu Ats Tsabat ‘ala Tholabul ‘Ilmi, 1/2).

Berbagai Macam Tanah
Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan ada tiga jenis tanah. Tanah pertama adalah tanah yang baik yang dapat menyerap air sehingga tumbuhlah tanaman dan rerumputan.
Tanah kedua adalah tanah yang disebut ajadib. Tanah ini hanya bisa menampung air sehingga dapat dimanfaatkan orang lain (untuk minum, memberi minum pada hewan ternak dan dapat mengairi tanah pertanian), namun tanah ajadib ini tidak bisa menyerap air.
Kemudian tanah jenis terakhir adalah tanah yang disebut qii’an. Tanah ini tidak bisa menampung dan tidak bisa menyerap air. Sehingga tanah ini tidak bisa menumbuhkan tanaman. (Lihat Syarh Muslim, 15/46-47 dan Muro’atul Mafaatih, 1/247-248).

Manusia Bertingkat-Tingkat Dalam Mengambil Faedah Ilmu
An Nawawi –rahimahullah- mengatakan, “Adapun makna hadits dan maksudnya, di dalamnya terdapat permisalan bagi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan al ghoits (hujan yang bermanfaat). Juga terdapat kandungan dalam hadits ini bahwa tanah itu ada tiga macam, begitu pula manusia.
Jenis pertama adalah tanah yang bermanfaat dengan adanya hujan. Tanah tersebut menjadi hidup setelah sebelumnya mati, lalu dia pun menumbuhkan tanaman. Akhirnya, manusia pun dapat memanfaatkannya, begitu pula hewan ternak, dan tanaman lainnya dapat tumbuh di tanah tersebut.
Begitu pula manusia jenis pertama. Dia mendapatkan petunjuk dan ilmu. Dia pun menjaganya (menghafalkannya), kemudian hatinya menjadi hidup. Dia pun mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang dia miliki pada orang lain. Akhirnya, ilmu tersebut bermanfaat bagi dirinya dan juga bermanfaat bagi yang lainnya.
Jenis kedua adalah tanah yang tidak mendatangkan manfaat bagi dirinya sendiri, namun bermanfaat bagi orang lain. Tanah ini menahan air sehingga dapat dimanfaatkan oleh yang lain. Manusia dan hewan ternak dapat mengambil manfaat darinya.
Begitu pula manusia jenis kedua. Dia memiliki ingatan yang bagus. Akan tetapi, dia tidak memiliki pemahaman yang cerdas. Dia juga kurang bagus dalam menggali faedah dan hukum. Dia pun kurang dalam berijtihad dalam ketaatan dan mengamalkannya. Manusia jenis ini memiliki banyak hafalan. Ketika orang lain yang membutuhkan yang sangat haus terhadap ilmu, juga yang sangat ingin memberi manfaat dan mengambil manfaat bagi dirinya; dia datang menghampiri manusia jenis ini, maka dia pun mengambil ilmu dari manusia yang punya banyak hafalan tersebut. Orang lain mendapatkan manfaat darinya,sehingga dia tetap dapat memberi manfaat pada yang lainnya.
Jenis ketiga adalah tanah tandus yang tanaman tidak dapat tumbuh di atasnya. Tanah jenis ini tidak dapat menyerap air dan tidak pula menampungnya untuk dimanfaatkan orang lain.
Begitu pula manusia jenis ketiga. Manusia jenis ini tidak memiliki banyak hafalan, juga tidak memiliki pemahaman yang bagus. Apabila dia mendengar, ilmu tersebut tidak bermanfaat baginya. Dia juga tidak bisa menghafal ilmu tersebut agar bermanfaat bagi orang lain.” (Syarh Muslim, 15/47-48)
Qurtubhi dan selainnya –rahimahumullah- mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil permisalan terhadap ajaran agama yang beliau bawa dengan al ghoits yang turun ketika sangat dibutuhkan (ketika tanah dalam keadaan tandus). Begitu pula keadaan manusia sebelum diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana tanah dapat menghidupkan daerah yang tandus, begitu pula dengan ilmu agama (ilmu syar’i) dapat menghidupkan hati yang mati. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerupakan orang yang mendengar wahyu dengan berbagai macam tanah yang mendapat air hujan.
Di antara manusia ada yang berilmu, gemar mengamalkam ilmunya dan mengajarkan ilmunya. Orang seperti ini sebagaimana halnya tanah yang subur yang dia bisa memanfaatkan untuk dirinya yaitu untuk minum dan yang lainnya juga bisa memanfaatkannya. Juga ada sebagian manusia lainnya yang mengumpulkan banyak ilmu di masanya, namun dia jarang melakukan amalan nafilah (sunnah) atau juga tidak memahami secara mendalam ilmu yang dia miliki, akan tetapi dia mengajarkan ilmu yang dia kumpulkan tersebut pada yang lainnya. Orang kedua ini seperti tanah yang dapat menampung air, lalu dapat dimanfaatkan oleh manusia. Orang semacam ini termasuk dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Semoga Allah membaguskan seseorang yang mendengar sabdaku, kemudian dia menyampaikannya sebagaimana dia mendengarnya. Ada pula orang jenis lain yang mendengar ilmu, namun dia tidak menghafalkannya, tidak mengamalkannya dan tidak pula menyampaikannya kepada orang lain. Inilah orang yang dimisalkan dengan tanah tandus yang tidak bisa menampung atau seringkali membahayakan lainnya.
Hadits ini adalah permisalan untuk dua kelompok yang dipuji karena keduanya memiliki kesamaan (yaitu memberi manfaat bagi orang lain). Sedangkan kelompok ketiga adalah kelompok yang tercela yang tidak dapat mendatangkan manfaat.

Asbâbun Nuzûl Surat ali-‘Imran (3) ayat: 140


Asbâbun Nuzûl Surat ali-‘Imran (3) ayat: 140
إِنْ يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِثْلُهُ وَتِلْكَ الأيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاءَ وَاللَّهُ لا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ (١٤٠)
140. Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (Kafir) itu pun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang Kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.


Imâm Jalâludin ash-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya (Juz. 4, 3/ali-‘Imran) dengan menisbahkan kepada Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsîr Ibnu Abî Hâtimnya:
“Dikemukakan oleh Ibnu Abî Hâtim yang bersumber dari ‘Ikrimah. ‘Ikrimah berkata: “Ketika kabar dari medan jihad agak terlambat, dan para perempuan juga berusaha mencari kabar tersebut. Tiba-tiba ada dua orang laki-laki datang naik unta. Maka bertanyalah seorang perempuan: “Apa yang dilakukan Rasulullah SAW?”; Kedua orang tadi menjawab: “Baik-baik saja”. Perempuan tadi berkata lagi: “Saya tidak peduli Allah SWT. menjadikan hamba-hamba-Nya menjadi Syuhada”. Dan turunlah al-Quran (ayat):   
إِنْ يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِثْلُهُ وَتِلْكَ الأيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاءَ وَاللَّهُ لا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ (١٤٠)
140. Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (Kafir) itu pun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang Kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim”.

KETERANGAN:
Kata Imâm Jalâludin as-Suyûthî: “Hadis yang ia keluarkan di atas berkualitas Hasan”.





BIBLIOGRAFI

Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûli (as-Suyûthî/Imâm Jalâludin as-Suyûthî).
Tafsîr Ibnu Abî Hâtim (Ibnu Abî Hâtim).



Selasa, 14 Juni 2011

Asbâbun Nuzûl Surat ali-‘Imran (3) ayat: 130


Asbâbun Nuzûl Surat ali-‘Imran (3) ayat: 130
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (١٣٠)
130. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda, dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.


Imâm Jalâludin ash-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya (Juz. 4, 3/ali-‘Imran) dengan menisbahkan kepada al-Faryabî dalam Fawâidhnya:
“Dikemukakan oleh al-Faryabî yang bersumber dari Mujâhid. Mujâhid berkata: “Dahulukala orang-orang berjual-beli dengan jalan kredit. Apabila waktu pembayaran tiba tidak mau membayar, maka bertambah lagi bunganya dan ditambah pula jangka waktu pembayarannya. Maka turunlah ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (١٣٠)
130. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda, dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.



Imâm Jalâludin ash-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya (Juz. 4, 3/ali-‘Imran) dengan menisbahkan kepada al-Faryabî dalam Fawâidhnya:
“Dikemukakan pula oleh al-Faryabî yang bersumber dari ‘Atha’. ‘Atha’ berkata: “Dahulukala di zaman Jahiliyah Tsaqif berhutang kepada Bani Nadzîr, maka apabila waktu pembayarannya tiba ia berkata: “Kami bayar bunganya dan tangguhkanlah waktu pembayarannya!”. Maka turunlah ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (١٣٠)
130. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda, dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.

KETERANGAN:
Kata Imâm Jalâludin as-Suyûthî: “Kedua Hadis yang ia keluarkan di atas berkualitas Hasan”.





BIBLIOGRAFI

Fawâidh (al-Faryabî /Muhammad Ibnu Yusuf al-Faryabî).
Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûli (as-Suyûthî/Imâm Jalâludin as-Suyûthî).

Minggu, 12 Juni 2011

SIAPA SAJA PARA PEMIMPIN ITU?


SIAPA SAJA PARA PEMIMPIN ITU?

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, yang telah melimpahkan nikmat dan hidayah-Nya kepada seluruh umat manusia. Salawat beserta salam tetap tercurahkan kepada sang baginda agung Muhammad SAW. yang telah membawa umatnya menuju zaman yang penuh dengan nikmat, rahmat dan berkah.

Hadirin yang dimuliakan oleh Allah

Siapa saja para pemimpin itu?. Pada hakikatnya siapakah pemimpin itu?. Apakah kita dapat dikategorikan sebagai pemimpin?. Apakah kita (semua) layak sebagai pemimpin?. Allah SWT. berfirman:
“Hai orang-orang yang Beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri (pemimpin-pemimpin) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnah-Nya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian (Hari Kiamat). Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.[1]
Dari ayat di atas kita dapat mengambil faedah bahwa Allah SWT. mewajibkan kepada seluruh orang Islam untuk taat kepada Allah, Rasul, dan para Pemimpin. Para pemimpin yang wajib kita taati tentu para pemimpin yang amanah, jujur, kredibel, transparan, santun, adil, bijaksana dan sebagainya.

Hadirin yang dimuliakan oleh Allah

Nabi SAW. bersabda: “Setiap orang di antara kalian (kalian semua) adalah pemimpin, dan setiap pemimpin harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya. Seorang pemimpin (presiden/raja, dan sebagainya) adalah pemimpin dan dia harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya. Seorang lelaki (ayah/bapak) menjadi pemimpin keluarganya, dan ia harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya. Dan wanita (istri/ibu) menjadi pemimpin bagi anak-anaknya, dan ia harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya. Dan seorang Hamba Sahaya (Budak/pembantu) menjadi pemimpin atas harta dan amanah Tuannya, dan ia harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya. Ingatlah (ketahuilah) bahwa setiap orang (kalian semua) adalah pemimpin, dan setiap pemimpin harus mempertanggungjawabkan kepemipinannya”.[2]
Dari Hadis di atas kita dapat mengambil faedah bahwa kita semua (seluruh manusia, dan khususnya umat Islam) adalah pemimpin. Anak kecil dalam jenjang Sekolah Dasar (SD.) pun dapat dikategorikan sebagai pemimpin ketika ia menjadi ketua kelas, maka ia menjadi pemimpin bagi teman-teman satu kelasnya. Anak-anak yang suka bermain dengan teman-teman sebayanya ketika ia berkomedi, berteater, main drama, dan sebagainya ketika ia ditunjuk oleh teman-temannya untuk berperan menjadi pemimpin atau ketua atau bos dalam permainan mereka, maka ia dapat dikategorikan sebagai pemimpin dalam permainan teman-temannya tersebut. Seorang pemimpin ORMAS, OKP, dan sebagainya maka ia merupakan pemimpin bagi anggota dan organisasi yang dipimpinnya. Seorang kakak (senior) tentu dapat dikategorikan sebagai pemimpin bagi adik-adiknya (juniornya) dalam memberikan arahan, bimbingan, dan sebagainya.

Hadirin yang dimuliakan oleh Allah

Dari kedua nash (al-Quran dan Hadis) di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa: “Pemimpin itu tidak hanya Presiden, Wakil Presiden, Pemerintah, dan sebagainya. Akan tetapi kita (semua manusia, khususnya umat Islam) adalah pemimpin bagi anggota yang dipimpinnya dan bagi spesialisasi masing-masing, serta setiap pemimpin harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya”.







BIBLIOGRAFI

Al-Quran al-Karim.
Al-Adab al-Mufrad (Imam Bukhari).







[1] Surat an-Nisa’ (4); ayat 59.
[2] H.R. Bukhari dalam al-Adab al-Mufradnya, Bab 1, No.33.

Selasa, 07 Juni 2011

Asbâbun Nuzûl Surat ali-‘Imran (3) ayat: 128

Asbâbun Nuzûl Surat ali-‘Imran (3) ayat: 128

لَيْسَ لَكَ مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ (١٢٨)
128. Tak ada sedikitpun campur-tanganmu dalam urusan mereka itu, atau Allah menerima taubat mereka atau mengazab mereka. Karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.



Imâm Bukhârî meriwayatkan dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârînya (8/368):
“Yahya bin ‘Abdillah as-Sulami telah bercerita kepada kami (Bukhârî), katanya (Yahya bin ‘Abdillah as-Sulami): “Telah mengabarkan kepada kami (Yahya bin ‘Abdillah as-Sulami) ‘Abdullah, katanya (‘Abdullah): “Ma’mar telah mengabarkan kepada kami (‘Abdullah) dari az-Zuhri, katanya (az-Zuhri): “Salim telah bercerita kepada saya (az-Zuhri), dari ayahnya (Salim), beliau (Ayahnya Salim) mendengar Rasulullah SAW. apabila mengangkat kepalanya dari ruku’ pada raka’at terakhir shalat Fajar (Shubuh) mengucapkan: “Ya Allah, laknatlah si Fulan dan si Fulan, sesudah mengucapkan: “Sami’allahu liman hamidah, Rabbana lakalhamdu”. Maka Allah SWT. menurunkan:
لَيْسَ لَكَ مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ (١٢٨)
128. Tak ada sedikitpun campur-tanganmu dalam urusan mereka itu, atau Allah menerima taubat mereka atau mengazab mereka. Karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim”.


KETERANGAN:
Bukhârî juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam at-Tafsîr al-Kabîrnya (9/293) dari gurunya Habban bin Musa dari ‘Abdillah yaitu: Ibnu al-Mubarak. At-Tirmidzî juga meriyatkan sebagaimana Hadis di atas dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh Sunan at-Tirmidzînya (17/77), dan kata Tirmidzî: “Hadis yang ia riwayatkan berkualitas hasan gharib”; Tirmidzî meriwayatkan Hadisnya melalui jalur gurunya Ahmad bin Muhammad dari ‘Abdullah dengan redaksi: “Ketika mengangkat kepalanya dari ruku’ pada raka’at terakhir, beliau (Nabi SAW.) mengucapkan: “Ya Allah, Rabb kami, dan bagi Engkaulah segala pujian”. Imâm Ahmad bin Hanbal juga meriwayatkan dalam Musnad al-Imâm Ahmad Ibn Hanbalnya (2/93, 104 dan 2/118, 147) dengan redaksi: “Beliau (Nabi SAW.) mendoakan kejelekan sebagian orang-orang munafiqin”. Abdul Razzaq bin Hammam ash-Shan’anî juga mengeluarkan sebagaimana Hadis di atas dalam al-Mushannafnya (2/446). Ibnu Jarîr juga mengeluarkan sebagaimana Hadis di atas dalam Jâmi’ al-Bayâni fi at-Ta’wîl al-Qur’âninya (4/88).





Imâm Muslim meriwayatkan dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li Muslimnya (5/178):
“Dan telah bercerita kepada kami (Muslim) Yahya bin Yahya, katanya (Yahya bin Yahya): “Saya bacakan kepada Imam Malik dari Ishaq bin ‘Abdillah bin Abi Thalhah dari Anas bin Malik, katanya (Anas bin Malik): “Rasulullah SAW. mendoakan selama 30 hari (satu bulan) kejelekan orang-orang yang membunuh para sahabat Rasulullah di Bi’r Ma’unah; Beliau SAW. mendoakan kejelekan Ri’l, Dzakwan, Lihyan dan ‘Ushayyah yang mendurhakai Allah SWT. dan Rasul-Nya”.
“Kata Anas bin Malik: “Allah SWT. menurunkan (ayat) al-Quran tentang mereka yang terbunuh di Bi’r Ma’unah yang kami baca sampai dinaskh (dihapus) setelah sampai kepada kaum kami bahwa kami telah bertemu dengan Rabb kami, lalu dia ridha kepada kami dan kamipun ridha kepada-Nya”.


KETERANGAN:
Imâm Ahmad bin Hanbal juga meriwayatkan dalam Musnad al-Imâm Ahmad Ibn Hanbalnya (3/99, 179, 201, 206, 253 dan 288). At-Tirmidzî juga meriyatkan sebagaimana Hadis di atas dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh Sunan at-Tirmidzînya (4/83), kata Tirmidzî: “Hadis yang ia riwayatkan berkualitas hasan shahih”. Ibnu Sa’d juga mengeluarkan sebagaimana Hadis di atas dalam Thabat Ibn Sa’dnya (2/31). Ibnu Jarîr juga mengeluarkan sebagaimana Hadis di atas dalam Jâmi’ al-Bayâni fi at-Ta’wîl al-Qur’âninya (4/86 dan 4/87).





Imâm Bukhârî menyatakan dalam at-Tafsîr al-Kabîrnya (9/294):
“Musa bin Isma’il telah bercerita kepada kami (Bukhârî), katanya (Musa bin Isma’il): “Ibrahim bin Sa’d telah bercerita kepada kami (Musa bin Isma’il), katanya (Ibrahim bin Sa’d): “Ibnu Syihab telah bercerita kepada kami (Ibrahim bin Sa’d) dari Sa’id bin al-Musayyab dan Abu Salamah bin ‘Abdurrahman dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW. dahulu jika hendak mendoakan kebaikan atau kejelekan seseorang Beliau SAW. qunut sesudah ruku’, dan mungkin katanya (rawi): “Kalau Beliau SAW. mengucapkan: “Sami’allahu liman hamidah”. Beliau SAW. mengucapkan: “Ya Allah Rabb kami, bagi Engkaulah segala pujian. Ya Allah selamatkanlah al-Walid bin al-Walid, Salamah bin Hisyam, ‘Iyasy bin Abi Rabi’ah. Ya Allah keraskanlah tekanan-Mu terhadap Mudhar dan jadikanlah tahun mereka seperti tahun-tahun Yusuf (kemarau), Beliau SAW. menyaringkan suaranya. Dan dahulu Beliau SAW. selalu mengucapkan dalam sebagian shalatnya pada shalat Fajar (Shubuh): “Ya Allah laknatlah si Fulan dan Fulan, sebagian kabilah ‘Arab, sampai Allah SWT. turunkan:
لَيْسَ لَكَ مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ (١٢٨)
128. Tak ada sedikitpun campur-tanganmu dalam urusan mereka itu, atau Allah menerima taubat mereka atau mengazab mereka. Karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim”.


KETERANGAN:
Imâm Muslim juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh li Muslimnya (5/177). Imâm Ahmad bin Hanbal juga meriwayatkan dalam Musnad al-Imâm Ahmad Ibn Hanbalnya (2/255).







PENJELASAN:
Kata al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Asqalanî dalam Fath al-Bâri bi Syarh Shahîh al-Imâm Abî ‘Abdullâh Muhammad bin Isma’îl al-Bukhârînya (9/295):
“Ada penamaan mereka dalam riwayat Yunus dari az-Zuhri pada riwayat Muslim dengan lafazh: “Ya Allah laknatlah Ri’l, Dzakwan dan ‘Ushayyah”.
Ia (Ibnu Hajar al-Asqalanî) melanjutkan: “Telah berlalu musykilah ini dalam perang Uhud dan bahwasannya kisah Ri’l dan Dzakwan terjadi sesudah perang Uhud, dan turunnya firman Allah SWT:
لَيْسَ لَكَ مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ (١٢٨)
128. Tak ada sedikitpun campur-tanganmu dalam urusan mereka itu, atau Allah menerima taubat mereka atau mengazab mereka. Karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.
Lanjutnya (Ibnu Hajar al-Asqalanî): “Ayat di atas terjadi pada kisah Uhud. Lalu tampak bagi saya bahwa khabar ini yakni tentang turunnya:
لَيْسَ لَكَ مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ (١٢٨)
128. Tak ada sedikitpun campur-tanganmu dalam urusan mereka itu, atau Allah menerima taubat mereka atau mengazab mereka. Karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.
Lanjutnya (Ibnu Hajar al-Asqalanî): “Dalam kisah Ri’l dan Dzakwan di dalamnya ada sisipan (mudraj), juga perkataanya: “Sampai Allah menurunkan………” Munqathi (sanadnya terputus) dari riwayat az-Zuhri dari orang yang menyampaikan kepadanya. Hal tersebut dijelaskan oleh Imam Muslim dalam Shahîhnya (5/177) dalam riwayat Yunus tersebut, dan kata beliau (Imâm Muslim): “Di sini dia mengatakan: “Yakni az-Zuhri”.
Ibnu Hajar al-Asqalanî mengatakan: “Kemudian sampai kepada kami bahwa Beliau SAW. meninggalkan hal (qunut pada shalat Subuh) itu ketika (ayat 128 Surat ali-‘Imran) turun. Berita melalui penyampaian tersebut tidak sah untuk apa yang disebutkan (dalam konteks Ri’l dan Dzakwan)”.
Kemudian beliau (Ibnu Hajar al-Asqalanî) mengatakan: “Penggabungan antara Hadis Ibnu ‘Umar dan Hadis Anas bin Malik, bahwa Nabi SAW. mendoakan orang-orang yang disebutkan, sesudah kejadian itu dalam shalatnya, lalu turunlah (ayat 128 Surat ali-‘Imran) tentang kedua hal itu sekaligus; tentang apa yang menimpa dari persoalan yang telah diuraikan dan tentang munculnya doa itu dari Beliau SAW. Semua hal tersebut terjadi dalam peristiwa Uhud, berbeda dengan kisah Ri’l dan Dzakwan, karena kisah Ri’l dan Dzakwan ada di luar konteks Uhud”.
Lanjutnya (Ibnu Hajar al-Asqalanî): Kemungkinan lain dapat dikatakan: “Sesungguhnya kisah itu terjadi sesudahnya, dan turunnya (ayat 128 Surat ali-‘Imran) tertunda sejenak dari sebabnya, kemudian turunlah tentang semua perkara tersebut (di atas)”.








BIBLIOGRAFI

Al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârî (Imâm Bukhârî/Abu ‘Abdullâh Muhammad bin
Ismâ’îl bin Ibrâhîm bin al-Mughîrah bin Bardizbah al-Ju’fî al-Bukhârî).
Al-Jâmi’ ash-Shahîh li Muslim (Imâm Muslim/al-Imâm Abî al-Husain Muslim
bin al-Haĵâj Ibnu Muslim al-Qusyairî an-Naisâbûrî).
Al-Jâmi’ ash-Shahîh Sunan at-Tirmidzî (at-Tirmidzî/al-Imâm al-Hâfidz Abî ‘Îsâ
Muhammad bin ‘Îsâ bin Saurah at-Tirmidzî).
Al-Mushannaf (Abdul Razzaq bin Hammam ash-Shan’ani).
At-Tafsîr al-Kabîr (Imâm Bukhârî/ Abu ‘Abdullâh Muhammad bin Ismâ’îl bin
Ibrâhîm bin al-Mughîrah bin Bardizbah al-Ju’fî al-Bukhârî).
Fath al-Bâri bi Syarh Shahîh al-Imâm Abî ‘Abdullâh Muhammad bin Isma’îl al-
Bukhârî (Al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Asqalanî/Ahmad bin ‘Alî bin Hajar al-
Asqalanî).
Jâmi’ al-Bayâni fi at-Ta’wîl al-Qur’âni (Ibnu Jarîr/Abu Ja’far ath-Thabarî
Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmalî).
Musnad al-Imâm Ahmad Ibn Hanbal (Imâm Ahmad bin Hanbal/Ahmad ibn
Hanbal asy-Syaibanî).
Thabaqat Ibnu Sa’d (Ibnu Sa’d).