Rabu, 19 Mei 2010

HUKUM PERKAWINAN DALAM ISLAM


HUKUM PERKAWINAN DALAM ISLAM


A.      Sejarah Nikah.
Islam mensyariatkan Nikah sejak tahun pertama Hijriyah. Nabi SAW pada tahun tersebut(pertama hijriyah) bersabda kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf: “buatlah Walimah, sekalipun satu kambing saja”. Dan pada saat itu juga turun ayat: 3, Surat an-Nisa’(4) yang mensyariatkan Nikah yaitu:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا (٣)
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[1], Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”[2]

B.     Definisi Nikah.
1.    Nikah Secara Etimologi.
Nikah secara etimologi: bermakna ضمّ dan إجتمع yang berarti “berkumpul atau bergabung”[3]. Sedangkan menurut Prof. Dr. Amir Syarifuddin yaitu: ضمّ(bergabung), وطء(hubungan kelamin) dan juga عقد(transaksi).[4]
2.    Nikah Secara Terminologi.
Abu Bakr Jaabir al-Jazairy dalam kitabnya Minhajul Muslim mendefinisikan Nikah secara terminologi bermakna: “akad halalnya berhubungan(الإستمتاع) antara kedua belah pihak(suami dan istri).[5] Menurut Prof. Dr. Amir Syarifuddin yaitu: “akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafadz نكح dan زوج”.[6] “Nikah juga dapat diartikan dengan salah satu proses transaksi untuk menjadikan halalnya melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis”.[7] Sedangkan makna perkawinan/nikah dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pada Pasal 1 menyatakan bahwa: “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”[8]

C.    Kedua Belah Pihak Yang Menikah(Jenisnya).
Perlu dikeahui bahwa:
-       Transaksi dalam pernikahan hanya bisa menggunakan kata dasar: - نكحعقد   زوج, dan hanya bisa menggunakan ungkapan يتضمّن إباحة الوطء(yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin). Maka dalam hal ini Islam hanya menghendaki dan mensyariatkan nikah antara dua jenis insan(kelamin) yang berbeda yaitu: laki-laki dan perempuan.[9]
·      Contoh kata زوج terdapat dalam Surat adz-Zariyat(51), ayat: 49; Surat an-Najm(53), ayat: 45; Surat an-Nisa’(4), ayat: 1; ar-Rum(30), ayat: 21 dan di dalam Hadis yang diriwayatkan Bukhari dari Anas bin Malik dan masih banyak hadis-hadis yang lain. Contohnya, Surat adz-Zariyat(51), ayat: 49.

وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (٤٩)
     49. Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat 
     kebesaran Allah.

·      Contoh kata نكح terdapat dalam Surat an-Nisa’(4), ayat: 3; Surat an-Nisa’(4), ayat: 6; an-Nur(24), ayat: 32; dan juga terdapat dalam Hadis Nabi riwayat Bukhari. Contohnya Surat an-Nisa’(4), ayat: 3.

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا (٣)
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

·      Sedangkan kata عقد dalam disiplin ilmu Fiqih digunakan untuk menjelaskan bahwa perkawinan itu adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh orang-orang  atau pihak-pihak yang terlibat dalam perkawinan.
·      Sedangkan ungkapan   يتضمّن إباحة الوطءdalam disiplin ilmu Fiqih didasarkan karena kaidah Fiqh: الأُصْلُ فِيْ الإِبْضَاعِ التَّحْرِيْمُ(hukum asal pada masalah seks adalah haram).[10] Dan hal-hal yang membolehkan hubungan kelamin adalah adanya akad nikah antara kedua belah pihak(laki dan perempuan).[11]

D.    Hukum Perkawinan Menurut Islam
Menikah disyariatkan oleh Islam dalam Surat an-Nisa’(4), ayat: 3; sebagaimana firman Allah dalam Surat an-Nur(24), ayat: 32
وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (٣٢)
32. “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu[12], dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.”
Dan dalam Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Jaami’ Shahihnya:
النِّكَاحُ سُنَّتِي فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتيِ فَلَيْسَ مِنِّيْ
“Nikah adalah sunnahku, maka siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku.”
Dari beberapa ayat dan Hadis di atas maka perkawinan itu perbuatan yang disenangi oleh Allah dan Rasul(Muhammad) untuk dilakukan. Atas dasar itu hukum pernikahan menurut asalnya adalah SUNNAH menurut pandangan Jumhur Ulma’.[13] Kemudian para Jumhur Ulama’ merincikan hukum perkawinan dengan melihat keadaan orang-orang tetentu:
a.    Sunnah bagi orang-orang yang telah berkeinginan untuk menikah, telah pantas untuk menikah dan dia telah mempunyai perlengkapan untuk melangsungkan perkawinan.
b.   Makruh bagi orang-orang yang belum pantas untuk menikah, belum berkeinginan untuk menikah, sedangkan perbekalan untuk menikah juga belum ada. Begitu pula seseorang yang memiliki bekal yang cukup untuk menikah, namun fisiknya memiliki cacat seperti impoten, berpenyakit tetap, tua Bangka dan lain-lain.
c.    Wajib bagi orang-orang yang telah pantas untuk menikah, berkeinginan untuk menikah dan memiliki perlengkapan untuk kawin, ia khawatir akan terjerumus ke tempat maksiat kalau ia tidak menikah.
d.   Haram bagi orang-orang yang tidak akan dapat memenuhi ketentuan Syara’ untuk menikah atau ia yakin pernikahan itu tidak akan mencapai tujuan Syara’, sedangkan dia meyakini pernikahan itu akan merusak kehidupan pasangannya.
e.    Mubah bagi orang-orang yang pada dasarnya belum ada dorongan untuk menikah dan pernikahan itu tidak akan mendatangkan kemudharatan apa-apa kepada siapapun.[14]   


[1]  Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
[2]   Asy. Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i. 1994. Shahih Musnad min Asbaabin Nuzuul. Beruit: Maktabah Daarul Qudus dan Daar
    Ibnu Hajm.
[3]  Shomad, Abdul Wahid. 2009. Fiqh Seksualitas. Malang: Insani Madani.
[4]  Prof. Dr. Amir Syarifuddin. 2003. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta Timur: Prenada Media.
[5]  Abu Bakr Jaabir al-Jazairy. 1976. Madinah: Daarul Fikri.
[6]  Ibid., Hal: 1.
[7]  Ibid., Hal: 1.
[8]  Ibid., Hal:
[9]  Jamali, Abdul. 2008. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
[10]  Rahman Asymuni A. 1976. Qaidah-Qaidah Fiqh. Jakarta: Bulan Bintang.
[11] Prof. H. A. Djazuli. 2007. Kaidah-Kaidah Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
[12]  Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.
[13] Prof. Dr. Amir Syarifuddin. 2003. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta Timur. Prenada Media.
[14]  Ibid., Hal: 79.